Kamis, 29 September 2016

Towards Better Education Quality Indonesia’s Promising Path


REVIEW JURNAL “MENUJU KUALITAS PENDIDIKAN YANG LEBIH BAIK, LANGKAH INDONESIA YANG MENJANJIKAN”

A.    RESUME JURNAL
Pemerintah Indonesia telah memberlakukan serangkaian reformasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Reformasi tersebut menghasilkan beberapa kemajuan dalam bidang pendidikan. Berikut ini akan dijelaskan perbaikan sistem pendidikan dari masa reformasi, dengan penekanan khusus pada pendidikan dasar.
1. Peningkatan Kualitas Pendidikan
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan serangkaian keputusan menteri tentang Standar Pelayanan Minimal, yang memberikan patokan untuk layanan pendidikan dasar di kabupaten dan tingkat sekolah. Peraturan mencakup fasilitas, guru, isi kurikulum dan elemen jaminan kualitas (misalnya manajemen, pembiayaan, penilaian dan kompetensi kelulusan) dengan tujuan untuk memastikan kondisi minimum untuk belajar di semua sekolah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2013). Selain itu, Indonesia juga menggunakan berbagai cara untuk mengukur kualitas pendidikan seperti tes penilaian internasional, angka melek huruf dan rasio murid-guru (PTR). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kualitas pendidikan dari tahun ke tahun.  Namun, berdasarkan skor PISA,Indonesia menempati urutan ke-38 dari 45 negara pada tahun 2011.
2.      Perbaikan Akses dan Ekuitas
Terdapat  peningkatan angka partisipasi sekolah dasar dari 90% pada tahun 2000 ke tingkat yang hampir universal pada tahun 2005. Telah ada peningkatan penting dalam ekuitas di semua kelompok umur. Secara keseluruhan, ini meningkat dari 63% menjadi 78% selama 2002-2012, dengan penyempitan kesenjangan pendapatan antara kelompok dan berbagai divisi regional dan desa-kota. Namun, sisanya kesenjangan masih cukup besar.



3.      Kemajuan Sosial Ekonomi yang Lebih Luas
Peningkatan yang signifikan dalam pendapatan per kapita telah memberikan kontribusi terhadap pembentukan kekuatan kelas menengah dan potensi peningkatan investasi swasta di bidang pendidikan.
Berbagai kemajuan dalam kualitas pendidikan Indonesia, tentunya tidak akan terjadi jika tidak ada faktor pendorongnya. Adapun faktor utama pendorong kemajuan peningkatan kualitas pendidikan, yaitu:
1. memperkuat tenaga pengajar
Berbagai kebijakan dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru. Di bawah Undang-Undang Guru Tahun  2005, guru yang memenuhi persyaratan sertifikasi menerima tunjangan profesi yang berfungsi menggandakan gaji mereka. Beberapa strategi yang menarik telah muncul untuk mengelola isu-isu distribusi guru seperti insentif untuk bekerja di daerah terpencil dan menggunakan pengajaran multi-kelas dan beberapa subjek guru di sekolah kecil.
2. reformasi kurikulum dan pedagogik
Selama tahun 2000-an, Indonesia membuat serangkaian perubahan terhadap kurikulum nasional, yaitu: 1) kurikulum berbasis konten berganti ke berbasis kompetensi, 2) hafalan berpusat pada guru diganti ke metode yang berpusat pada siswa , dan 3) sistem terpusat untuk menentukan konten untuk satu terdesentralisasi.
3. mendukung desentralisasi dan manajemen berbasis sekolah (MBS)                                             
Desentralisasi mendukung sejumlah perubahan penting dalam sektor pendidikan, termasuk pergeseran ke arah partisipasi masyarakat yang lebih besar dan akuntabilitas dalam sistem. Model MBS, yang mendorong berpusat pada siswa belajar, partisipasi masyarakat dan manajemen sekolah yang efektif, kini telah diadopsi secara luas di Indonesia.
4. peningkatan anggaran dan menargetkan dukungan menyebabkan ketidakseimbangan
Dana pendidikan meningkat tiga kali lipat dari 2001-2012, mencapai Rp 310,8 triliun (US $ 35300000000) pada tahun 2012. Meningkatnya pembiayaan pendidikan berasal dari keputusan untuk memotong subsidi BBM. Pemotongan tersebut digunakan untuk membiayai program-program seperti BOS, Program Beasiswa bagi Masyarakat Miskin (BSM) dan Program Keluarga Harapan (PKH).
Ada berbagai tantangan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, yaitu:
1. tingkat pembelajaran
variabel dan permasalah pemerataan
Variasi regional dan terdapat ketidakadilan dalam distribusi guru dan sumber daya di seluruh wilayah daya merupakan masalah yang signifikan. Pendidikan yang sangat tertinggal di Indonesia bagian timur menunjukkan ada 72 kabupaten yang masih memiliki tingkat pendaftaran pendidikan dasar di bawah 90% pada 2012-2013.
2. kesinambungan keuangan dan efektivitas biaya reformasi
Biaya besar terkait dengan sertifikasi dan peningkatan gaji utama dapat menyerap pengeluaran tingkat pendidikan lainnya tidak dapat dihindari. Ada juga kekhawatiran bahwa Program BSM (beasiswa) mungkin tidak efektif dalam melayani masyarakat miskin. Data dari tahun terakhir menunjukkan setengah dari semua dana BSM untuk  40% dari populasi siswa termiskin, sementara separuh lainnya menguntungkan mereka yang terkaya 60% (Bank Dunia 2012).
3. cakupan, pemerataan dan kualitas pelayanan anak usia dini dan pendidikan
Angka partisipasi kasar untuk pra-primer meningkat dari 24,8% pada tahun 2000 menjadi 41,5% di 2011. Pelebaran kesenjangan dalam cakupan antara kelompok sosial-ekonomi. Pendaftaran berumur antara 4-6 tahun dari kuintil termiskin meningkat dari 19% menjadi 36% di 2004-2010. Depdiknas (2007) mencatat perbedaan yang cukup besar dalam cakupan antara daerah perkotaan dan pedesaan.
4. pendidikan transisi kerja
Bukti dari Organisasi Buruh Internasional (ILO 2013) menunjukkan transisi sekolah ke bekerja tetap sulit, dengan tingkat pengangguran kaum muda berfluktuasi antara 20-32% pada 2000-2011 dan bukti setengah pengangguran kaum muda.
B.     PEMBAHASAN
Reformasi pendidikan yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia memberikan banyak perubahan. Perubahan ini dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Mutu pendidikan diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 Tahun 2009 yang berbunyi  “Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan merupakan kegiatan yang sistemik dan terpadu pada  penyelenggaraan pendidikan untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa” (Nanang Fattah, 2013: 1). Realisasi dari peraturan tersebut dapat dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memperbaiki sistem pendidikan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada resume jurnal di atas, pemerintah telah meningkatkan kualitas tenaga kerja (baik guru, kepala sekolah dan staf-staf lainnya), mengubah kurikulum sesuai dengan kebutuhan jaman, melakukan desentralisasi dan manajemen berbasis sekolah serta memberikan dukungan dana. Melalui upaya-upaya tersebut, selama sepuluh tahun terakhir ini, diperoleh kemajuan berupa peningkatan kualitas pendidikan, perbaikan akses dan ekuisitas serta kemajuan ekonomi yang luas dimana kemajuan tersebut juga mendukung pendidikan. Keberhasilan yang telah dicapai bukanlah keputusan akhir untuk menghentikan upaya peningkatan kualitas pendidikan. Justru ini adalah langkah awal karena sebenarnya kita masih tertinggal jauh dengan negara-negara lainnya.
Indonesia sebagai salah satu negara yang terdaftar dalam PISA, menempati urutan ke 38 dari 45 negara. Itu menunjukkan bahwa upaya-upaya yang selama ini dilakukan oleh pemerintah belum mampu membawa Indonesia untuk sejajar dengan negara-negara lainnya. Upaya  pemerintah dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja dapat dilihat dari berbagai diklat yang dilakukan. Pemerintah juga memberikan insentif dan sertifikasi untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas guru. Akan tetapi, upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang maksimal. Faktanya, pemberian sertifikasi hanya meningkatkan kesejahteraan guru namun kurang berdampak pada peningkatan transfer knowledge dan transfer value kepada siswa. Guru-guru di Indonesia menumpuk satu sampai dua mobil serta tiga sampai empat motor di rumahnya. Namun, sedikit sekali buku ilmiah yang ada di rumah guru-guru Indonesia. Itu menunjukkan bahwa guru di Indonesia malas membaca. Bagaimana mungkin pengetahuan siswa dapat berkembang jika guru sebagai fasilitator kurang mengembangkan dirinya.
Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam peningkatan kualitas pendidikan. Namun, hasil penelitian menunjukkan afiliasi guru di dalam gerakan reformasi  tersebut diarahkan pada afiliasinya terhadap disiplin illmu dan politik, bukan terhadap peran guru sebagai yang memfasilitasi proses pendidikan (Tilaar, 2006: 89). Itu menunjukkan guru belum menggunakan hati dalam mengajar sehingga output pendidikan belum maksimal.
Reformasi pendidikan yang baru saja dilaksanakan berupa pengubahan kurikulum KTSP ke Kurikulum 13 juga membuktikan kurangnya peran guru dalam menerima inovasi pendidikan. Melalui kurikulum tersebut, guru  dituntut untuk superaktif dalam memfasilitasi siswa sehingga metode konvensional seperti ceramah harus dihilangkan. Faktanya, guru-guru merasa keberatan dengan kurikulum tersebut. Padahal, di dalam buku tematik Kurikulum 13 sudah terdapat aspek tematik integrative, scientific approach dan authenthic assessment, dimana di buku-buku pada kurikulum sebelumnya hal tersebut tidak ada. Selain itu, guru-guru juga mengeluhkan mengenai rumitnya prosedur evaluasi padahal dari pihak pemerintah sudah memberikan software  untuk membantu mengerjakan evaluasi.Namun, guru-guru (senior) tidak dapat menggunakan software tersebut sehingga pada akhirnya software yang sudah diberikan itu menjadi mubadzir. Seharusnya ini menjadi catatan pihak pemerintah untuk tidak hanya memberikan software, tetapi juga mengajarkan bagaimana penggunaan software tersebut.
Selain guru, pemerintah juga tidak konsisten dengan pendidikan. Tilaar (2006: 74) menjelaskan bahwa pendidikan nasional kita sampai dewasa ini tidak memiliki platform yang jelas sehingga terjadi perubahan-perubahan kebijakan menurut selera seorang menteri. “Jika terjadi pergantian menteri, maka ganti pula kurikulumnya”, begitu yang biasa dikatakan oleh guru-guru. Perubahan kebijakan berdampak sistemik sehingga perlu dipertimbangkan secara mendalam. Reformasi pendidikan tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, ini membutuhkan waktu yang sangat lama karena berkenaan dengan banyak pihak. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah membuat platform pendidikan yang jelas yang tidak berubah meskipun menteri berganti. Dengan begitu, akan ada pelaksanaann yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan platform negara.
Platform pendidikan ini sangat penting untuk mendapatkan gambaran manusia seperti apa yang hendak dihasilkan oleh pendidikan  dan sumbangan macam apa yang diharapkan dari para lulusan pendidikan. Setelah itu, barulah disiapkan semua perangkat untuk mencapai visi itu. Dengan kata lain, kita perlu berpegang pada kedelapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yaitu: (1) Standar Kompetensi Lulusan, (2) Standar Isi, (3) Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, (4) Standar Proses, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar Pembiayaan, (7) Standar Pengelolaan, dan (8) Standar Penilaian. Setiap standar memiliki karakteristik, tantangan, persoalan, dan solusi tersendiri. Artinya, bahwa kita harus menemukan esensialitas dari setiap standar, demi mencapai lulusan-lulusan yang berkualitas secara khusus dan manusia yang berkualitas secara umum.
Pendidikan di Indonesia belum menemukan esensialitas dari setiap standar sehingga lulusan-lulusannya tidak siap pakai dan kurang mampu menciptakan lapangan kerja. Berdasarkan data dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak 37, 06%  pemuda hanya lulus Sekolah Dasar (Kunandar, 2011: 2). Dengan kondisi tersebut, sulit mengharapkan pemuda Indonesia untuk menjadi agen perubahan. Berdasarkan data BPS tahun 2005, diperoleh informasi tambahan berupa sebanyak 10.854.254 orang Indonesia adalah pengangguran dengan pengangguran yang telah menamatkan jenjang S1 sebesar 385.418 (Kunandar, 2011: 3). Angka yang  cukup mengejutkan karena setelah menginvestasikan dana yang begitu besar untuk pendidikan, ternyata tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Ini menunjukkan ada permasalahan dalam sistem pendidikan kita, dimana pendidikan belum mampu untuk membawa lulusannya siap bekerja.
Dewasa ini, hal yang lebih mengejutkan terjadi dalam dunia pendidikan. Kenakalan remaja seperti mencuri, tawuran, membunuh, bullying, penggunaan narkoba semakin mengerikan (Muchlas Samani dan hariyanto, 2012: 2). Ini menunjukkan pendidikan kita gagal untuk memanusiakan manusia. Selain itu, tindakan curang (cheating) seperti mencontek merupakan hal yang biasa. Dalam pelaksanaan UAN juga terjadi banyak kecurangan yang kadang kala mendapat dukungan dari sekolah. Bertahun-tahun sekolah anak hanya mengejar nilai akhir sehingga anak kurang mengembangkan keterampilan lainnya.ini menyebabkan anakmenjadi tertekan. Jika kondisi pendidikan di Indonesia terus-menerus seperti ini, maka tidak akan tercipta peradaban yang unggul dan mulia.
Di sisi lain, pemerintah juga memberikan dukungan dana sebesar 20% APBN yang pada tahun 2012 senilai dengan Rp 310,8 triliun. Persentase yang cukup besar namun masih di bawah negara lain. Vietnam telah mengalokasikan 55% anggaran belanjanya untuk pendidikan karena menyadari pendidikan adalah investasi masa depan. Pemerintah juga membuat kebijakan BOS dan memberikan berbagai macam beasiswa seperti Program Beasiswa bagi Masyarakat Miskin (BSM) dan Program Keluarga Harapan (PKH) dan Nasional Pemberdayaan Masyarakat Program (PNPM Generasi). Kebijakan-kebijakan tersebut, memberikan kesempatan kepada anak dari keluarga tidak mampu untuk dapat menikmati pendidikan seperti anak-anak lainnya. Maka, banyaknya anak yang terdaftar sebagai siswa sekolah meningkat dari 19% menjadi 36% di 2004-2010. Namun, pendidikan yang bagus, pendidikan di sekolah-sekolah berkualitas tetaplah menjadi mimpi bagi siswa miskin karena pendidikan berkualitas tetap membutuhkan biaya yang besar dari siswa itu sendiri. Pada pelaksanaannya, terdapat beasiswa yang tidak tepat sasaran baik secara prosedur maupun subjek yang mendapat beasiswa. Fenomena yang Penulis cermati, anak-anak dari keluarga menengah ke atas juga mendapatkan Beasiswa bagi Masyarakat Miskin (BSM) karena kekurangtelitian dalam seleksi penerima beasiswa. Ironisnya, sebagian orang tua siswa menggunakan uang beasiswa bukan untuk kepentingan pendidikan anak tetapi untuk membeli barang kebutuhan pribadi seperti perhiasan dan sembako. Oleh karena itu, pemerintah harus memperbaiki sistem beasiswa agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan.
Pemerintah juga mencanangkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Nanang Fattah (2013: 38) menjelaskan,
“Manajemen Berbasis Sekolah sebagai terjemahan dari School Based Management adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.”

Melalui Manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah memiliki wewenang untuk mengambil kebijakan. Sekolah dapat mengembangkan kegiatannya sesuai dengan kebutuhan di lingkungannya. Masyarakat dan orang tua siswa juga dapat berpartisipasi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun, di sekolah-sekolah pedesaan, sistem ini kurang maksimal karena rendahnya partisipasi dan kesadaran masyarakat terhadap mutu pendidikan.
Selain guru dan pemerintah, luasnya wilayah Indonesia juga mempengaruhi mutu pendidikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia terdiri dari lebih dari tujuh belas ribu pulau dengan kebudayaan dan topografinya masing-masing. Penyamarataan kualitas pendidikan sangat sulit dicapai jika pendidikan masih bersifat sentralistik. Oleh karena itu pemerintah melakukan desentralisasi pendidikan dan mengadakan manajemen berbasis sekolah. Melalui dua kebijakan tersebut, sekolah-sekolah di daerah 3T (Tertinggal, Terluar dan Terdepan) dapat mengembangkan sekolahnya sesuai dengan kondisi lingkungannya. Kondisi ini juga didukung oleh kurikulum KTSP yang memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengeksplorasi lingkungannya. Melalui kebijakan ini, sekolah-sekolah menentukan muatan lokal dan kearifan budaya lokal sesuai dengan kebutuhan, seperti di tempat Penulis mengajar  (SD Kauman, Pleret, Bantul), sekolah mengadakan ekstrakurikuler tari daerah, tembang dan shalawat jawa serta gamelan yang diangkat dari kebudayan masyarakat sekitar.
Berdasarkan penjelasan di atas maka pemerintah sudah melakukan perbaikan dan memperoleh kemajuan pendidikan dalam pembiayaan yang merupakan input, perbaikan proses pembelajaran dan pengelolaan sekolah yang merupakan ranah proses, dan prosedur operasional standart serta outcome berupa persiapan kompetensi ke dunia kerja. Namun usaha tersebut belum memperoleh hasil yang maksimal.
Berdasarkan permasalahan-pemasalahan yang telah dipaparkan, maka Penulis merasa kita perlu melihat kembali pemikiran-pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara dalam berbagai tulisan dan pidatonya menjelaskan tentang pendidikan manusia terbagi  menjadi dua yaitu didikan lahir dan didikan batin (Ki Hajar Dewantara, 2011: 10). Metode untuk mendidik lahir dan batin anak menurut kodratnya disebut dengan metode Among. Metode itu mengajarkan mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran dan tenaganya. Guru tidak hanya memberikan pengetahuan yang baik dan dipelukan anak, namun juga mengajarkan bagaimana memperoleh pengetahuan secara mandiri. Jika guru dan pusat-pusat pendidikan lainnya menggunakan metode tersebut, maka akan diperoleh anak-anak cerdas dengan akhlak dan moral yang baik.
Setiap anak memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan sebagaimana yang diamantkan dalam Undang-Undang No. Adanya siswa tidak sekolah ataupun putus sekolah dan belum menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun merupakan tanggung jawab pemerintah untuk mengurusinya. Di sisi lain, masyarakat juga harus turut andil untuk mendukung program pemerintah. Masyakarakat dapat memberikan bantuan, misalnya berupa uang yang dikumpulkan secara sukarela oleh anggota-anggota sekolah itu sendiri (Ki Hajar Dewantara, 2011: 5) karena pemerintah belum mampu mengakomodasi semua pembiayaan pendidikan.
Polemik sentralisasi dan desentralisasi sudah ada sejak dulu.  Ki Hajar Dewantara (2011: 64) menjelaskan bahwa sentralisasi seharusnya mengurus kepentingan-kepentingan inti seperti rencana pengajaran minimun dengan kekhususan kebudayaan provinsi atau kota, pengangkatan ketua-ketua perguruan, pengakuan guru-guru biasa, kebijaksanaan umum terhadap pemerintah dan publik, sedangkan desentralisasi daerah-daerah lokal berbentuk urusan materiil, kepentingan-kepentingan setempat, dan lain-lain. Penjelasan ini sesuai dengan kebutuhan pendidikan saat ini, agar setiap wilayah dapat mengembangkan sekolahnya sesuai dengan budaya setempat tanpa meninggalkan standar pengajaran secara nasional. Tentunya pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan masih sangat luas dan jika diterapkan dalam pendidikan Indonesia akan sangat membantu dalam mengatasi permasalahan pendidikan.

C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Berdasarkan resume jurnal dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan jika sejak masa reformasi, pemerinntah telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan mutu pendidikan. Mutu pendidikan dapat diukur dengan rasio guru dan siswa, tes internasional serta angka melek huruf. Upaya-upaya yang telah dilakukan memberikan kemajuan di beberapa segi seperti peningkatan kualitas pendidik, berkurangnya siswa tidak atau puttus sekolah, pemerataan guru di daerah 3T, memperbaiki kurikulum, mengedepankan student centered dan penambahan anggaran pemerintah.
Kemajuan tersebut masih kalah dibanding dengan negara-negara lain sehingga upaya peningkatan masih harus digalakkan. Selain itu, tidak adanya platform pendidikan yang jelas membuat arah pendidikan di Indonesia masih dangkal. Ki Hajar dewantara selaku Bapak Pendidikan Indonesia memberikan beberapa pemikiran yang dapat dicermati sebagai solusi permasalahan pendidikan saat ini, seperti: metode Among, swasembada keuangan dari pihak orang tua siswa serta prosedur sentralisasi dan desentralisasi yang tepat. Melalui pemikiran tersebut, diharapkan pendidikan kita menjadi lebih baik.
2.      Saran
Penulis mengharapkan kajian ini menjadi sebuah refleksi bagi kita semua khususnya para pelaku pendidikan untuk dapat meningkatkan pendidikan kita yang memanusiakan manusia ke masa depan. Menyikapi realitas hidup jaman sekarang ini yang sangat memprihatinkan maka perlu kita mengkaji pemikiran Bapak Pendidikan Naional dan mengimplemetasikannya dalam kurikulum secara nasional.

DAFTAR PUSTAKA
Ki Hajar Dewantara. 2011. Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Persatuan Tamansiswa.
Kusnandar. 2011. Guru Professional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Press.
Muchlas Samani dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Nanang Fattah. 2013. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dalam Konteks Penerapan MBS. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.

Tilaar. 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar