REVIEW JURNAL “MENUJU KUALITAS PENDIDIKAN YANG LEBIH BAIK, LANGKAH INDONESIA YANG MENJANJIKAN”
A.
RESUME JURNAL
Pemerintah Indonesia telah memberlakukan
serangkaian reformasi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan. Reformasi tersebut menghasilkan beberapa kemajuan
dalam bidang pendidikan. Berikut ini akan dijelaskan perbaikan sistem pendidikan dari masa reformasi, dengan penekanan khusus
pada pendidikan dasar.
1. Peningkatan
Kualitas Pendidikan
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan serangkaian keputusan menteri
tentang Standar Pelayanan Minimal, yang memberikan
patokan untuk layanan pendidikan dasar di kabupaten dan
tingkat sekolah. Peraturan mencakup fasilitas, guru,
isi kurikulum dan elemen jaminan kualitas (misalnya
manajemen, pembiayaan, penilaian dan kompetensi
kelulusan) dengan tujuan untuk memastikan kondisi minimum
untuk belajar di semua sekolah (Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan
2013). Selain itu, Indonesia juga
menggunakan berbagai cara untuk mengukur kualitas pendidikan seperti tes penilaian internasional, angka melek
huruf dan rasio murid-guru
(PTR).
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kualitas
pendidikan dari tahun ke tahun. Namun,
berdasarkan skor PISA,Indonesia menempati urutan ke-38 dari 45 negara pada tahun 2011.
2. Perbaikan Akses dan Ekuitas
Terdapat peningkatan angka
partisipasi sekolah dasar dari 90% pada tahun 2000 ke tingkat yang hampir universal pada
tahun 2005. Telah ada peningkatan penting dalam ekuitas di
semua kelompok umur.
Secara keseluruhan, ini meningkat dari 63% menjadi 78% selama 2002-2012,
dengan penyempitan
kesenjangan pendapatan antara kelompok dan berbagai
divisi regional dan desa-kota. Namun, sisanya
kesenjangan masih cukup besar.
3. Kemajuan Sosial Ekonomi yang Lebih Luas
Peningkatan yang signifikan dalam pendapatan per kapita
telah memberikan kontribusi terhadap pembentukan
kekuatan kelas menengah dan potensi peningkatan
investasi swasta di bidang pendidikan.
Berbagai kemajuan dalam
kualitas pendidikan Indonesia, tentunya tidak akan terjadi jika tidak ada faktor
pendorongnya. Adapun faktor utama
pendorong kemajuan peningkatan
kualitas pendidikan, yaitu:
1. memperkuat tenaga pengajar
Berbagai kebijakan
dilakukan untuk meningkatkan kualitas guru. Di bawah Undang-Undang Guru Tahun 2005, guru yang
memenuhi persyaratan sertifikasi menerima tunjangan profesi yang berfungsi menggandakan
gaji mereka. Beberapa strategi yang menarik telah muncul untuk
mengelola isu-isu distribusi guru seperti insentif untuk bekerja di daerah terpencil dan
menggunakan pengajaran multi-kelas dan beberapa subjek guru di sekolah kecil.
2. reformasi kurikulum dan pedagogik
Selama tahun 2000-an, Indonesia membuat serangkaian perubahan terhadap
kurikulum nasional, yaitu: 1) kurikulum berbasis konten berganti ke berbasis kompetensi, 2) hafalan berpusat pada guru diganti ke metode yang berpusat pada siswa
,
dan 3) sistem terpusat
untuk menentukan konten untuk satu terdesentralisasi.
3. mendukung desentralisasi dan manajemen berbasis sekolah
(MBS)
Desentralisasi mendukung sejumlah perubahan penting dalam sektor pendidikan, termasuk
pergeseran ke arah partisipasi masyarakat yang lebih besar dan akuntabilitas
dalam sistem. Model MBS, yang mendorong berpusat pada siswa belajar,
partisipasi masyarakat dan manajemen sekolah yang efektif, kini telah diadopsi
secara luas di Indonesia.
4. peningkatan anggaran dan menargetkan
dukungan menyebabkan ketidakseimbangan
Dana pendidikan meningkat tiga kali lipat dari 2001-2012, mencapai Rp 310,8
triliun (US $ 35300000000) pada tahun 2012. Meningkatnya pembiayaan
pendidikan berasal dari keputusan untuk memotong
subsidi BBM. Pemotongan tersebut
digunakan untuk membiayai
program-program seperti BOS, Program Beasiswa bagi Masyarakat Miskin
(BSM) dan Program Keluarga Harapan (PKH).
Ada berbagai tantangan
untuk meningkatkan kualitas pendidikan, yaitu:
1. tingkat pembelajaran variabel dan permasalah pemerataan
1. tingkat pembelajaran variabel dan permasalah pemerataan
Variasi regional dan terdapat ketidakadilan dalam distribusi guru dan
sumber daya di seluruh wilayah daya
merupakan masalah yang signifikan. Pendidikan
yang sangat tertinggal di Indonesia bagian timur
menunjukkan ada 72 kabupaten yang
masih memiliki tingkat pendaftaran pendidikan dasar di
bawah 90% pada 2012-2013.
2. kesinambungan keuangan dan efektivitas biaya
reformasi
Biaya besar terkait dengan sertifikasi dan peningkatan gaji utama
dapat menyerap pengeluaran
tingkat pendidikan lainnya tidak dapat dihindari.
Ada juga kekhawatiran bahwa Program BSM (beasiswa)
mungkin tidak efektif dalam melayani masyarakat miskin. Data dari tahun
terakhir menunjukkan setengah dari semua dana BSM untuk 40%
dari populasi siswa termiskin, sementara separuh lainnya
menguntungkan mereka yang terkaya
60% (Bank Dunia 2012).
3. cakupan, pemerataan dan kualitas pelayanan anak usia dini
dan pendidikan
Angka partisipasi kasar untuk pra-primer meningkat dari 24,8% pada tahun 2000
menjadi 41,5% di 2011. Pelebaran
kesenjangan dalam cakupan antara kelompok sosial-ekonomi.
Pendaftaran berumur antara 4-6 tahun dari kuintil
termiskin meningkat dari 19% menjadi 36% di 2004-2010. Depdiknas (2007) mencatat perbedaan yang cukup besar
dalam cakupan
antara daerah perkotaan dan pedesaan.
4. pendidikan transisi kerja
Bukti dari Organisasi Buruh Internasional (ILO 2013)
menunjukkan transisi sekolah
ke bekerja tetap sulit, dengan tingkat pengangguran kaum
muda berfluktuasi antara 20-32% pada
2000-2011 dan bukti setengah pengangguran kaum muda.
B.
PEMBAHASAN
Reformasi pendidikan
yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia memberikan banyak perubahan. Perubahan
ini dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Mutu pendidikan diatur dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 Tahun 2009 yang berbunyi “Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan merupakan
kegiatan yang sistemik dan terpadu pada
penyelenggaraan pendidikan untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan
bangsa” (Nanang Fattah, 2013: 1). Realisasi dari peraturan tersebut dapat
dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memperbaiki sistem pendidikan.
Sebagaimana yang telah
dijelaskan pada resume jurnal di
atas, pemerintah telah meningkatkan kualitas tenaga kerja (baik guru, kepala
sekolah dan staf-staf lainnya), mengubah kurikulum sesuai dengan kebutuhan
jaman, melakukan desentralisasi dan manajemen berbasis sekolah serta memberikan
dukungan dana. Melalui upaya-upaya tersebut, selama sepuluh tahun terakhir ini,
diperoleh kemajuan berupa peningkatan kualitas pendidikan, perbaikan akses dan
ekuisitas serta kemajuan ekonomi yang luas dimana kemajuan tersebut juga
mendukung pendidikan. Keberhasilan yang telah dicapai bukanlah keputusan akhir
untuk menghentikan upaya peningkatan kualitas pendidikan. Justru ini adalah
langkah awal karena sebenarnya kita masih tertinggal jauh dengan negara-negara
lainnya.
Indonesia sebagai salah
satu negara yang terdaftar dalam PISA, menempati urutan ke 38 dari 45 negara.
Itu menunjukkan bahwa upaya-upaya yang selama ini dilakukan oleh pemerintah
belum mampu membawa Indonesia untuk sejajar dengan negara-negara lainnya. Upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas tenaga
kerja dapat dilihat dari berbagai diklat yang dilakukan. Pemerintah juga
memberikan insentif dan sertifikasi untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas
guru. Akan tetapi, upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang maksimal.
Faktanya, pemberian sertifikasi hanya meningkatkan kesejahteraan guru namun
kurang berdampak pada peningkatan transfer
knowledge dan transfer value
kepada siswa. Guru-guru di Indonesia menumpuk satu sampai dua mobil serta tiga
sampai empat motor di rumahnya. Namun, sedikit sekali buku ilmiah yang ada di
rumah guru-guru Indonesia. Itu menunjukkan bahwa guru di Indonesia malas
membaca. Bagaimana mungkin pengetahuan siswa dapat berkembang jika guru sebagai
fasilitator kurang mengembangkan dirinya.
Guru memiliki peranan
yang sangat penting dalam peningkatan kualitas pendidikan. Namun, hasil
penelitian menunjukkan afiliasi guru di dalam gerakan reformasi tersebut diarahkan pada afiliasinya terhadap
disiplin illmu dan politik, bukan terhadap peran guru sebagai yang
memfasilitasi proses pendidikan (Tilaar, 2006: 89). Itu menunjukkan guru belum
menggunakan hati dalam mengajar sehingga output
pendidikan belum maksimal.
Reformasi pendidikan
yang baru saja dilaksanakan berupa pengubahan kurikulum KTSP ke Kurikulum 13
juga membuktikan kurangnya peran guru dalam menerima inovasi pendidikan. Melalui
kurikulum tersebut, guru dituntut untuk
superaktif dalam memfasilitasi siswa sehingga metode konvensional seperti
ceramah harus dihilangkan. Faktanya, guru-guru merasa keberatan dengan
kurikulum tersebut. Padahal, di dalam buku tematik Kurikulum 13 sudah terdapat aspek
tematik integrative, scientific approach dan
authenthic assessment, dimana di
buku-buku pada kurikulum sebelumnya hal tersebut tidak ada. Selain itu,
guru-guru juga mengeluhkan mengenai rumitnya prosedur evaluasi padahal dari
pihak pemerintah sudah memberikan software untuk membantu mengerjakan evaluasi.Namun,
guru-guru (senior) tidak dapat menggunakan software
tersebut sehingga pada akhirnya software
yang sudah diberikan itu menjadi mubadzir. Seharusnya ini menjadi catatan pihak
pemerintah untuk tidak hanya memberikan software,
tetapi juga mengajarkan bagaimana penggunaan software tersebut.
Selain guru, pemerintah
juga tidak konsisten dengan pendidikan. Tilaar (2006: 74) menjelaskan bahwa
pendidikan nasional kita sampai dewasa ini tidak memiliki platform yang jelas
sehingga terjadi perubahan-perubahan kebijakan menurut selera seorang menteri. “Jika
terjadi pergantian menteri, maka ganti pula kurikulumnya”, begitu yang biasa
dikatakan oleh guru-guru. Perubahan kebijakan berdampak sistemik sehingga perlu
dipertimbangkan secara mendalam. Reformasi pendidikan tidak dapat dilakukan
dalam waktu singkat, ini membutuhkan waktu yang sangat lama karena berkenaan
dengan banyak pihak. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakukan adalah
membuat platform pendidikan yang jelas yang tidak berubah meskipun menteri
berganti. Dengan begitu, akan ada pelaksanaann yang berkesinambungan untuk
meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan platform negara.
Platform pendidikan ini
sangat penting untuk mendapatkan gambaran manusia seperti apa yang hendak
dihasilkan oleh pendidikan dan sumbangan
macam apa yang diharapkan dari para lulusan pendidikan. Setelah itu, barulah
disiapkan semua perangkat untuk mencapai visi itu. Dengan kata lain, kita perlu
berpegang pada kedelapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yaitu: (1) Standar
Kompetensi Lulusan, (2) Standar Isi, (3) Standar Pendidikan dan Tenaga
Kependidikan, (4) Standar Proses, (5) Standar Sarana dan Prasarana, (6) Standar
Pembiayaan, (7) Standar Pengelolaan, dan (8) Standar Penilaian. Setiap standar
memiliki karakteristik, tantangan, persoalan, dan solusi tersendiri. Artinya,
bahwa kita harus menemukan esensialitas dari setiap standar, demi mencapai
lulusan-lulusan yang berkualitas secara khusus dan manusia yang berkualitas
secara umum.
Pendidikan di Indonesia
belum menemukan esensialitas dari setiap standar sehingga lulusan-lulusannya
tidak siap pakai dan kurang mampu menciptakan lapangan kerja. Berdasarkan data
dari Kementerian Pemuda dan Olahraga sebanyak 37, 06% pemuda hanya lulus Sekolah Dasar (Kunandar,
2011: 2). Dengan kondisi tersebut, sulit mengharapkan pemuda Indonesia untuk
menjadi agen perubahan. Berdasarkan data BPS tahun 2005, diperoleh informasi
tambahan berupa sebanyak 10.854.254 orang Indonesia adalah pengangguran dengan
pengangguran yang telah menamatkan jenjang S1 sebesar 385.418 (Kunandar, 2011:
3). Angka yang cukup mengejutkan karena
setelah menginvestasikan dana yang begitu besar untuk pendidikan, ternyata
tidak memperoleh hasil yang diharapkan. Ini menunjukkan ada permasalahan dalam
sistem pendidikan kita, dimana pendidikan belum mampu untuk membawa lulusannya
siap bekerja.
Dewasa ini, hal yang
lebih mengejutkan terjadi dalam dunia pendidikan. Kenakalan remaja seperti
mencuri, tawuran, membunuh, bullying,
penggunaan narkoba semakin mengerikan (Muchlas Samani dan hariyanto, 2012: 2).
Ini menunjukkan pendidikan kita gagal untuk memanusiakan manusia. Selain itu,
tindakan curang (cheating) seperti
mencontek merupakan hal yang biasa. Dalam pelaksanaan UAN juga terjadi banyak
kecurangan yang kadang kala mendapat dukungan dari sekolah. Bertahun-tahun
sekolah anak hanya mengejar nilai akhir sehingga anak kurang mengembangkan
keterampilan lainnya.ini menyebabkan anakmenjadi tertekan. Jika kondisi
pendidikan di Indonesia terus-menerus seperti ini, maka tidak akan tercipta peradaban
yang unggul dan mulia.
Di sisi lain,
pemerintah juga memberikan dukungan dana sebesar 20% APBN yang pada tahun 2012
senilai dengan Rp 310,8
triliun. Persentase yang cukup besar namun
masih di bawah negara lain. Vietnam telah mengalokasikan 55% anggaran
belanjanya untuk pendidikan karena menyadari pendidikan adalah investasi masa
depan. Pemerintah juga membuat kebijakan BOS dan memberikan berbagai macam
beasiswa seperti Program Beasiswa
bagi Masyarakat Miskin (BSM) dan Program Keluarga Harapan (PKH) dan Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Program (PNPM Generasi).
Kebijakan-kebijakan tersebut, memberikan kesempatan kepada anak dari keluarga
tidak mampu untuk dapat menikmati pendidikan seperti anak-anak lainnya. Maka,
banyaknya anak yang terdaftar sebagai siswa sekolah meningkat dari 19% menjadi 36% di 2004-2010.
Namun, pendidikan yang bagus, pendidikan di sekolah-sekolah berkualitas
tetaplah menjadi mimpi bagi siswa miskin karena pendidikan berkualitas tetap
membutuhkan biaya yang besar dari siswa itu sendiri. Pada pelaksanaannya,
terdapat beasiswa yang tidak tepat sasaran baik secara prosedur maupun subjek
yang mendapat beasiswa. Fenomena yang Penulis cermati, anak-anak dari keluarga
menengah ke atas juga mendapatkan Beasiswa
bagi Masyarakat Miskin (BSM) karena kekurangtelitian dalam
seleksi penerima beasiswa. Ironisnya, sebagian orang tua siswa menggunakan uang
beasiswa bukan untuk kepentingan pendidikan anak tetapi untuk membeli barang
kebutuhan pribadi seperti perhiasan dan sembako. Oleh karena itu, pemerintah
harus memperbaiki sistem beasiswa agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
pendidikan.
Pemerintah juga
mencanangkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Nanang Fattah (2013: 38)
menjelaskan,
“Manajemen Berbasis
Sekolah sebagai terjemahan dari School
Based Management adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk
mendesain ulang pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala
sekolah serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja
sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.”
Melalui Manajemen berbasis sekolah,
kepala sekolah memiliki wewenang untuk mengambil kebijakan. Sekolah dapat
mengembangkan kegiatannya sesuai dengan kebutuhan di lingkungannya. Masyarakat
dan orang tua siswa juga dapat berpartisipasi untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Namun, di sekolah-sekolah pedesaan, sistem ini kurang maksimal
karena rendahnya partisipasi dan kesadaran masyarakat terhadap mutu pendidikan.
Selain guru dan
pemerintah, luasnya wilayah Indonesia juga mempengaruhi mutu pendidikan.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia terdiri dari lebih dari tujuh belas
ribu pulau dengan kebudayaan dan topografinya masing-masing. Penyamarataan
kualitas pendidikan sangat sulit dicapai jika pendidikan masih bersifat
sentralistik. Oleh karena itu pemerintah melakukan desentralisasi pendidikan
dan mengadakan manajemen berbasis sekolah. Melalui dua kebijakan tersebut,
sekolah-sekolah di daerah 3T (Tertinggal, Terluar dan Terdepan) dapat
mengembangkan sekolahnya sesuai dengan kondisi lingkungannya. Kondisi ini juga
didukung oleh kurikulum KTSP yang memberikan kesempatan kepada sekolah untuk
mengeksplorasi lingkungannya. Melalui kebijakan ini, sekolah-sekolah menentukan
muatan lokal dan kearifan budaya lokal sesuai dengan kebutuhan, seperti di
tempat Penulis mengajar (SD Kauman,
Pleret, Bantul), sekolah mengadakan ekstrakurikuler tari daerah, tembang dan
shalawat jawa serta gamelan yang diangkat dari kebudayan masyarakat sekitar.
Berdasarkan penjelasan
di atas maka pemerintah sudah melakukan perbaikan dan memperoleh kemajuan
pendidikan dalam pembiayaan yang merupakan input, perbaikan proses pembelajaran
dan pengelolaan sekolah yang merupakan ranah proses, dan prosedur operasional standart
serta outcome berupa persiapan
kompetensi ke dunia kerja. Namun usaha tersebut
belum memperoleh hasil yang maksimal.
Berdasarkan
permasalahan-pemasalahan yang telah dipaparkan, maka Penulis merasa kita perlu
melihat kembali pemikiran-pemikiran Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar
Dewantara. Ki Hajar Dewantara dalam berbagai tulisan dan pidatonya menjelaskan
tentang pendidikan manusia terbagi
menjadi dua yaitu didikan lahir dan didikan batin (Ki Hajar Dewantara,
2011: 10). Metode untuk mendidik lahir dan batin anak menurut kodratnya disebut
dengan metode Among. Metode itu
mengajarkan mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran dan
tenaganya. Guru tidak hanya memberikan pengetahuan yang baik dan dipelukan
anak, namun juga mengajarkan bagaimana memperoleh pengetahuan secara mandiri. Jika
guru dan pusat-pusat pendidikan lainnya menggunakan metode tersebut, maka akan
diperoleh anak-anak cerdas dengan akhlak dan moral yang baik.
Setiap
anak memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan sebagaimana yang
diamantkan dalam Undang-Undang No. Adanya siswa tidak sekolah ataupun putus
sekolah dan belum menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun merupakan tanggung
jawab pemerintah untuk mengurusinya. Di sisi lain, masyarakat juga harus turut
andil untuk mendukung program pemerintah. Masyakarakat dapat memberikan
bantuan, misalnya berupa uang yang dikumpulkan secara sukarela oleh
anggota-anggota sekolah itu sendiri (Ki Hajar Dewantara, 2011: 5) karena
pemerintah belum mampu mengakomodasi semua pembiayaan pendidikan.
Polemik
sentralisasi dan desentralisasi sudah ada sejak dulu. Ki Hajar Dewantara (2011: 64) menjelaskan
bahwa sentralisasi seharusnya mengurus kepentingan-kepentingan inti seperti
rencana pengajaran minimun dengan kekhususan kebudayaan provinsi atau kota,
pengangkatan ketua-ketua perguruan, pengakuan guru-guru biasa, kebijaksanaan
umum terhadap pemerintah dan publik, sedangkan desentralisasi daerah-daerah
lokal berbentuk urusan materiil, kepentingan-kepentingan setempat, dan
lain-lain. Penjelasan ini sesuai dengan kebutuhan pendidikan saat ini, agar
setiap wilayah dapat mengembangkan sekolahnya sesuai dengan budaya setempat
tanpa meninggalkan standar pengajaran secara nasional. Tentunya
pemikiran-pemikiran Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan masih sangat luas dan
jika diterapkan dalam pendidikan Indonesia akan sangat membantu dalam mengatasi
permasalahan pendidikan.
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan
resume jurnal dan pembahasan di atas,
maka dapat disimpulkan jika sejak masa reformasi, pemerinntah telah melakukan
berbagai cara untuk meningkatkan mutu pendidikan. Mutu pendidikan dapat diukur
dengan rasio guru dan siswa, tes internasional serta angka melek huruf.
Upaya-upaya yang telah dilakukan memberikan kemajuan di beberapa segi seperti
peningkatan kualitas pendidik, berkurangnya siswa tidak atau puttus sekolah,
pemerataan guru di daerah 3T, memperbaiki kurikulum, mengedepankan student centered dan penambahan anggaran
pemerintah.
Kemajuan
tersebut masih kalah dibanding dengan negara-negara lain sehingga upaya
peningkatan masih harus digalakkan. Selain itu, tidak adanya platform
pendidikan yang jelas membuat arah pendidikan di Indonesia masih dangkal. Ki Hajar
dewantara selaku Bapak Pendidikan Indonesia memberikan beberapa pemikiran yang
dapat dicermati sebagai solusi permasalahan pendidikan saat ini, seperti:
metode Among, swasembada keuangan dari pihak orang tua siswa serta prosedur sentralisasi
dan desentralisasi yang tepat. Melalui pemikiran tersebut, diharapkan
pendidikan kita menjadi lebih baik.
2.
Saran
Penulis mengharapkan
kajian ini menjadi sebuah refleksi bagi kita semua khususnya para pelaku
pendidikan untuk dapat meningkatkan pendidikan kita yang memanusiakan manusia ke
masa depan. Menyikapi realitas hidup jaman sekarang ini yang sangat
memprihatinkan maka perlu kita mengkaji pemikiran Bapak Pendidikan Naional dan
mengimplemetasikannya dalam kurikulum secara nasional.
DAFTAR
PUSTAKA
Ki Hajar Dewantara. 2011. Pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Persatuan Tamansiswa.
Kusnandar. 2011. Guru
Professional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses
dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Press.
Muchlas Samani dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter.
Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Nanang Fattah. 2013. Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dalam Konteks Penerapan MBS.
Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Tilaar. 2006. Standarisasi
Pendidikan Nasional. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar