Kamis, 29 September 2016

REVIEW JURNAL EDUCATION: THE RETOOLING CHALLENGE by J'Anne Affeld&Martha Affeld

SINOPSIS

Anak-anak dilahirkan untuk belajar dan mendorong kemampuan mereka merasa aman dan memiliki harapan untuk berhasil di masa depan. Anak-anak membutuhkan perhatian, kasih sayang, keamanan, pertumbuhan, persahabatan, pengetahuan, sukses. Kurikulum yang muncul dari esensi alam anak-anak ini adalah memotivasi dan mendukung keuntungan akademik. Merawat generasi penerus bangsa, keturunan kita, dan umat manusia dan  menentukan masa depan, berdasarkan pada seberapa sukses kita mengenali bakat dan kemampuan anak. Sekolah yang memegang prinsip-prinsip ini, dalam beberapa hal memberikan hasil ini, menarik perhatian kita untuk bertindak dalam mendukung pekerjaan.

Tantangan Pembaharuan
Fokus utama dalam setiap tantangan ilmiah adalah memperbaiki pendidikan. Untuk membuat kemajuan, sangat penting untuk menentukan bagaimana mengenali dan kemudian mengukur apa yang kita cari. Sistem pendidikan yang menghormati apa yang mahasiswa peroleh, yang mempersiapkan setiap anak untuk mengaktualisasi potensi pribadi dengan cara yang positif, penguatan anak, keluarga, masyarakat, dan berfokus waktu, energi dan mendukung untuk membangun hal umum melalui aktualisasi individu. Sekolah, ketika mereka berhasil, benar-benar melayani anak-anak dan bersedia melakukan masa depan.
Prinsip kritis untuk tantangan pendidikan dijelaskan sebagai berikut.
1.      Belajar berlainan dan khas untuk setiap siswa.
Semua anak memiliki kebutuhan khusus dan semua anak-anak membutuhkan bantuan khusus untuk mendukung belajar.
2.      Setiap anak berharga dan unik.
Manusia merupakan makhluk yang kompleks dan setiap orang adalah individu yang tak ternilai.
3.      Ilmu manusia adalah landasan dasar untuk mengajar.
Repositori penelitian dan pengetahuan tentang bagaimana manusia tumbuh disebut Human Development. Kita perlu guru untuk memahami anak-anak cara, berpikir, belajar, dan tumbuh.
4.      Tujuan  hasil pendidikan adalah potensi siswa.
Kita harus mendidik anak, berdasarkan siapa dia, apa yang dia butuhkan, apa yang dibutuhkan untuk mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Tujuannya adalah mengetahui setiap anak dan menetapkan jalan untuk membangun kekuatan keterampilan yang tepat dan mengasah kemampuan bersamaan.
5.      Amerika adalah benteng harapan dan kebesaran.
Banyak pihak yang menjadikan pendidikan AS sebagai acuan padahal pendidikan di sana telah kehilangan pemahaman tentang keindahan individu dan kontribusinya untuk keseluruhan.
6.      Aliran kurikulum membangun bagaimana kita belajar.
Fokus pendidikan dapat mempersiapkan setiap siswa dan mengasah keterampilan, kemampuan, kekuatan, dan keunggulan akademik ke titik tertinggi untuk orang tersebut. Ide kurikulum datang dan pergi, namun mereka masih terikat konstruksi tradisional. Kemajuan terbaru dalam memahami otak dan keterlibatan tubuh dalam belajar, berpikir, pengolahan dan mengingat harus merevolusi pendekatan pembelajaran siswa. Usaha yang dapat kita lakukan adalah mengidentifikasi dan menyiapkan pendidikan yang menghormati proses dan potensi pergeseran nasional, tes baru, memperbaiki pengajaran, memikirkan kembali apa yang kita lakukan dan bagaimana kita bisa benar-benar mendidik untuk masa depan.
7.      Hasil untuk siswa mengarahkan kurikulum
Dengan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak menguntungkan bagi mereka, kita membuang peluang mereka untuk belajar hal-hal yang bermakna, memberikan kesenangan, rasa keberhasilan dan penyelesaian. Untuk mendukung outcome sesuai dengan bakat siswa dapat dilakukan dengan mengoptimalkan kemampuan siswa menggunakan proses penilaian berbasis kekuatan, dicocokkan dengan minat dan gairah siswa. Serta, mengikuti pedoman yang sama dan pemanfaatan keahlian profesional yang membutuhkan rencana transisi dan IEPs, dengan perencanaan termasuk siswa, keluarga, penilaian profesional dan profesional sekolah berkomitmen dengan sumber daya masyarakat.
8.      Mendukung pembelajaran bagi seluruh anak, termasuk keterampilan hidup dan keterampilan fungsional.
Keterampilan fungsional dan kehidupan, belajar dan proses berpikir juga perlu diajarkan.
9.      Pengujian dan evaluasi formatif yang penting dan proses sumatif dan kita perlu alat yang lebih baik.
Untuk menggunakan data dengan benar dan mendapatkan penggunaan nyata, kita harus mereformasi praktek pengujian berdasarkan target prinsip-prinsip panduan yang telah direncanakan. Kita perlu mengukur dan mendefinisikan proses dan hasil. Setelah kita menentukan apa pendidikan dapat dan akan mencapai tujuan, kita perlu proses pengujian yang valid dan reliable  untuk mengukur kemajuan itu.
10.  Staf sekolah perlu kerja yang berbeda.
Guru adalah akselerator, focus, support dan menambah bahan bakar atau energi untuk meningkatkan proses belajar mengajar sehingga harus memiliki keterampilan.
11.  Persiapan guru juga akan memperlengkapi.
Guru perlu diajarkan, dilatih, dan berubah menjadi profesional dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam proses pendidikan secara berkala untuk meningkatkan praktik terbaik dan infus set keterampilan baru dan praktek.
12.  Keberadaan hukum untuk mendukung praktek terbaik
Ini adalah waktu untuk menegaskan bahwa semua anak harus dilayani, berdasarkan  rencana pendidikan individu tetapi ini tidak bisa hanya berlaku untuk anak-anak yang diidentifikasi dalam pendidikan khusus.
Singkatnya, Sudah saatnya bagi sekolah untuk mencerminkan, kehormatan dan mendukung kebutuhan siswa. Pendidikan tidak sakit atau rusak. Ini adalah waktu untuk memperlengkapi kembali, meninggalkan warisan kebesaran, dan kejelasan untuk tumbuh menjadi nilai baru, visi baru, dan arah baru.
PEMBAHASAN

Pendidikan di Amerika Serikat selama ini menjadi acuan bagi negara-negara lain. Di sisi lain, pendidikan di negara tersebut belum memfasilitasi mengenai perbedaan individual sehingga pendidikan lebih mengarah pada memenuhi kebutuhan negara dan bisnis. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Johnson (Jasmine, 2012: 216) “Gardner percaya bahwa sistem sekolah di AS-dan diikuti oleh hampir semua negara yang pendidikannya berkiblat kepadanya- terlalu menonjolkan kecerdasan  linguistik dan logis-matematis ketimbang kecerdasan lainnya”. Hal itu menyalahi kodrat anak, dimana anak adalah individu yang unik dan memiliki bakat masing-masing. Anak-anak harus dirawat dengan baik karena mereka yang akan melanjutkan peradaban dunia. Oleh karena itu, perlu adanya revolusi pendidikan. Revolusi pendidikan bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Membutuhkan waktu yang lama, sinergi dari semua pihak dan sistem yang kuat untuk melaksanakannya.
Ada banyak tantangan dalam revolusi pendidikan. Salah satu tantangan revolusi dalam pendidikan dicetuskan oleh J'Anne Affeld &Martha Affeld dalam jurnalnya yang berjudul Education: The Retooling Challenge. Jurnal tersebut  menjelaskan mengenai prinsip kritis yang harus dihadapi untuk memperbaiki pendidikan.
Permasalahan mengenai pendidikan tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengadopsi pendidikan negara tersebut, juga mengalami permasalahan dalam pendidikan. Permasalahan mengenai pendidikan di Indonesia akan dijelaskan sebagai berikut.

Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Sudarwan Danim (2006: 87-89) menjelaskan tujuan pendidikan dasar adalah memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Namun, praktik pendidikan di Indonesia masih jauh dari mencapai tujuan pendidikan. Guru, sebagai ujung tombak pendidikan, memiliki peranan yang sangat penting dalam peningkatan kualitas. Namun, hasil penelitian menunjukkan afiliasi guru di dalam gerakan reformasi  tersebut diarahkan pada afiliasinya terhadap disiplin illmu dan politik, bukan terhadap peran guru sebagai yang memfasilitasi proses pendidikan (Tilaar, 2006: 89).  Hal ini terjadi karena mutu guru-guru di Indonesia masih memprihatinkan. Data Balitbang tahun 2001 menunjukkan guru SD (baik negeri maupun swasta) yang dinilai layak mengajar hanya 38%  dari 1.141.168 guru se-Indonesia (Kusnandar, 2011: 41).
Pengajaran yang dilakukan guru masih bersifat teacher centered. Pembelajaran  masih textbook, proses belajar mengajar didominasi ujian, minimnya kegiatan ekstrakurikuler yang bermanfaat yang dapat memperkaya wawasan siswa untuk menghadapi dunia kerja serta kehidupan nyata (Marjohan, 2009: 19). Hal tersebut menyebabkan kemerosotan daya tarik sekolah.  Dunia pendikan juga belum bisa menjanjikan outcome yang baik. Sekolah bertahun-tahun tapi hasilnya tidak jelas. Pendidikan kita hanya mampu melahirkan generasi yang senang meramaikan mal, plaza dan tempat-tempat rekreasi ((Marjohan, 2009: 49). Barangkali hal itu terjadi karena pemerintah, masyarakat, orang tua, sekolah, dan media massa telah salah dalam mendidik sehingga semua pihak tersebut harus ikut bertanggung jawab. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka pemerintah Indonesia melakukan beberapa upaya yang akan dijelaskan pada subbab berikutnya.

Upaya Perbaikan Pendidikan di Indonesia
Dalam rangka memperbaiki kualitas pendidikan, pemerintah melakukan beberapa upaya yaitu  memperbaiki kurikulum, meningkatkan kualitas guru, dan memberikan otonomi kepada pihak swasta untuk mengembangkan sekolah. Perbaikan kurikulum yang mencakup pembaharuan materi, metode mengajar, dan penilaian. Kurikulum Indonesia sudah beberapa kali dirombak. Yang terbaru adalah kurikulum 13. .Kurikulum 13 merupakan kurikulum yang diadopsi dari Finlandia (Akuntansi Pendidik, 16 Maret 2014). Kurikulum ini mengedepankan pada pemahaman, keterampilan, kreativitas, dan  pendidikan  karakter dimana guru dituntut merancang pembelajaran afektif dan bermakna, mengorganisasikan pembelajaran, memilih pendekatan pembelajaran yang tepat, menentukan prosedur pembelajaran dan pembentukan kompetensi secara efektif, serta menetapkan kriteria. Pelaksanaan kurikulum ini didukung oleh Permendikbud No 57 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan  nasional, maka pemerintah terus berupaya memperbaiki kualitas guru. Melalui UU Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 29 ayat 2 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah memutuskan pendidik SD/MI memiliki kualifikasi akademik minimal S1, berlatar belakang pendidikan SD/MI, dan sertifikasi profesi guru untuk SD/MI. Sertifikasi guru adalah proses peningkatan mutu dan uji kompetensi tenaga pendidik dalam mekanisme yang telah diatur pemerintah. Selain sertifikasi, upaya peningkatan kualitas juga dilakukan dengan program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Pemerintah juga menetapkan  komponen kompetensi guru. Direktorat tenaga kependidikan Depdiknas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang standar kompetensi guru meliputi empat komponen, yaitu 1) pengelolaan pembelajaran, 2) pengembangan potensi, 3) penguasaan akademik, 4) sikap kepribadian. Pada tahun 2005 pemerintah juga mengeluarkan UU No 14 tentang Guru dan Dosen, yang menggarisbawahi semua guru harus memiliki kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan professional.
Selain itu, dukungan dari pihak swasta dengan menciptakan sekolah-sekolah yang berbeda juga mendukung peningkatan output pendidikan. Pendidikan nasional mengakui pendidikan yang dibiayai oleh masyarakat (lembaga-lembaga pendidikan swasta) sebagai mitra pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa (Tilaar, 2009: 17-18). Sekolah swasta yang berangkat dari visi dan misi yang sesuai dengan lingkungannya, bermodalkan guru yang berkualitas, dikekola dengan penuh dedikasi dan disiplin tinggi sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi akan mendapatkan simpati masyarakat. Pendidikan swasta memiliki otonomi yang lebih luas dari pada pendidikan yang dinaungi oleh pemerintah, tidak terkecuali dalam menentukan kurikulum. Contohnya Sekolah Multiple Intteligence yang didirikan oleh Munif Chatib yang bertujuan untuk menciptkan pembelajaran yang mengedepankan kecerdasan majemuk.

Tantangan Upaya Perbaikan Pendidikan di Indonesia
Tobias, dkk (2014, 35-38) dalam jurnalnya yang berjudul Towards Better Education Quality: Indonesia’s Promising Path menyebutkan ada beberapa tantangan dalam upaya memperbaiki pendidikan SD di Indonesia. Pertama, variabel tingkat pembelajaran dan permasalahan pemerataan. Variasi regional dan terdapat ketidakadilan dalam distribusi guru dan sumber daya di seluruh wilayah merupakan masalah yang signifikan. Pendidikan yang sangat tertinggal di Indonesia bagian timur menunjukkan ada 72 kabupaten yang masih memiliki tingkat pendaftaran pendidikan dasar di bawah 90% pada 2012-2013. Kedua, kesinambungan keuangan dan efektivitas biaya reformasi. Biaya besar terkait dengan sertifikasi dan peningkatan gaji utama dapat menyerap pengeluaran tingkat pendidikan. Ada juga kekhawatiran bahwa Program BSM (beasiswa) mungkin tidak efektif dalam melayani masyarakat miskin. Data dari tahun terakhir menunjukkan setengah dari semua dana BSM untuk  40% dari populasi siswa termiskin, sementara separuh lainnya menguntungkan mereka yang terkaya 60%.
Ketiga, cakupan, pemerataan dan kualitas pelayanan anak usia dini dan pendidikan. Angka partisipasi kasar untuk pra-primer meningkat dari 24,8% pada tahun 2000 menjadi 41,5% di 2011. Pendaftaran berumur antara 4-6 tahun dari kuintil termiskin meningkat dari 19% menjadi 36% di 2004-2010. Ada perbedaan yang cukup besar dalam cakupan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Keempat, pendidikan transisi kerja. Bukti dari Organisasi Buruh Internasional (ILO 2013) menunjukkan transisi sekolah ke bekerja tetap sulit, dengan tingkat pengangguran kaum muda berfluktuasi antara 20-32% pada 2000-2011 dan bukti setengah pengangguran kaum muda.

Analisis Tantangan dan Perbaikan Pendidikan di Indonesia dengan Prinsip Kritis
Dua belas prinsip kritis yang dicetuskan oleh J'Anne Affeld & Martha Affeld  merupakan tantangan yang mungkin terjadi untuk memperbaiki mutu pendidikan,. Melalui prinsip tersebut, diharapkan  pendidikan dapat merawat generasi penerus bangsa sehingga akan tercipta anak-anak yang luar biasa. Berdasarkan penjelasan pada subbab sebelumnya, maka berikut ini akan dijelaskan sejauh mana  upaya pemerintah dalam menghadapai tantangan serta kesesuian program-program pendidikan di Indonesia dengan The Retooling Education.
Pertama, setiap anak memiliki ciri khas yang berbeda dan pembelajaran harusnya memfasilitasi perbedaan individual ini. Perbedaan yang menghargai kekhasan setiap anak dapat diartikan sebagai upayauntuk menghargai bahwa setiap anak itu unik dan berharga. Di Indonesia pembelajaran yang memfasilitasi perbedaan sedang digalakkan. Ini dapat dilihat dari garis besar kurikulum 13, dimana dalam kurikulum tersebut, terdapat berbagai macam kegiatan seperti menyanyi, eksperimen, membuat karya, berbicara di depan kelas, dll. Selain itu, kurikulum tersebut juga menghilangkan sistem ranking sehingga siswa dengan kecerdasan akademik yang biasa saja tidak merasa termarjinalkan. Melalui kegiatan tersebut, tidak hanya anak dengan kecerdasan linguistik dan logika yang terfasilitasi pembelajarannya, namun anak dengan kecerdasan musikal,  interpersonal, kinestetik, juga terfasilitasi perkembangannya. Bahkan, sekolah yang didirikan oleh Munif Chatib secara terstruktur menerapkan multiple intelligence untuk memfasilitasi perbedaan. Namun, guru-guru masih belum yakin dengan hal tersebut. Informasi akan masuk ke dalam otak siswa dan tak terlupakan seumur hidup apabila informasi tersebut ditangkap berdasarkan gaya belajar siswa (Munif Chatib, 2012: 33).
Kedua, ilmu manusia adalah landasan dasar untuk mengajar sehingga guru yang mengajar harus dari ilmu yang linier dan berkompeten. Pemerintah sudah menetapkan UU Guru dimana berdasarkan undang-undang tersebut, guru SD seharusnya sarjana lulusan SD/MI atau sudah menempuh persamaan. Namun, kualitas guru di Indonesia memang belum maksimal. Itu dibuktikan dengan data balitbang yang menyatakan hanya 38%  dari 1.141.168 guru se-Indonesia (Kusnandar, 2011: 41) yang dinilai layak mengajar. Oleh karena itu, pemerintah melaksanakan sertifikasi dan PPG untuk meningkatkan kualitas guru. Dengan peningkatan kualitas guru, maka akan diperoleh pembelajaran yang berbeda. Guru sebagai garda terdepan dalam pendidikan maka harus memiliki kompetensi baik pedagogik, kepribadian, professional, dan sosial. Selain itu, ada berbagai kegiatan untuk mendukung guru agar melakukan kerja yang berbeda seperti seminar, diklat, kunjungan sekolah dan KKG. Ini dapat dilihat dari Upaya pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru melalui program sertifikasi, diklat, seminar, dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Setiap awal semester, guru juga sudah membuat silabus, program semester dan RPP. Namun di daerah yang tergolong 3T, upaya seperti itu sulit untuk dilakukan. Hal itu terjadi karena jumlah guru kurang memadai dengan kualitas yang lebih rendah dibanding daerah perkotaan.
Ketiga, tujuan  pendidikan adalah potensi siswa. Sekolah tidak hanya untuk mendapatkan nilai 100 karena nilai tersebut belum bisa merepresentasikan potensi siswa. Pemerintah menyadari betapa pentingnya potensi siswa sehingga memberikan kesempatan sekolah untuk memberikan kecakapan atau keterampilan hidup yang diintegrasi dalam pembelajaran. Pemerintah melalui Permendikbud No 62 tahun 2014 menjelaskan tentang ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ini berarti pemerintah mendorong keterampilan hidup dan fungsional siswa. Pada kurikulum 13, pemerintah juga meminimalkan jumlah mata pelajaran dari 10 menjadi 6 mata pelajaran untuk tingkat Sekolah Dasar. Dengan adanya pengurangan ini diharapkan anak-anak tidak perlu mempelajari tentang hal-hal yang tidak bermakna. Anak-anak cukup mempelajari materi yang sesuai dengan tahap perkembangannya dan kebutuhannya di masa depan.
Keempat, Aliran kurikulum membangun bagaimana kita belajar. Setiap kurikulum memiliki prinsip tersendiri dan prinsip-prinsip inilah yang mempengaruhi kegiatan yang akan dilakukan. Misalnya, Kurikulum 13 mengedepankan tentang pemahaman, keterampilan, kreativitas, dan pendidikan  karakter sehingga pembelajaran bergerak sesuai dengan hal-hal tersebut. Sebagaimana pendapat Affeld, J'Anne &Martha Affeld  (2015) yang menjelaskan bahwa kemajuan terbaru dalam memahami otak dan keterlibatan tubuh dalam belajar, berpikir, pengolahan dan mengingat harus merevolusi pendekatan pembelajaran siswa maka kurikulum 13 pun menerapkan hal tersebut. Penyusun kurikulum 13 juga menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia sehingga kurikulum yang diadopsi dari Finlandia tersebut, tidak merusak tatanan masyarakat namun malah bersinergi dengannya.
Terakhir, keberadaan hukum untuk mendukung praktek terbaik. Pemerintah sudah berkali-kali mengeluarkan kebijakan pendidikan untuk mendapatkan praktek terbaik. Misalnya, Permendikbud No 57 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Permendikbud No 62 tahun 2014 tentang ekstrakurikuler yang ada di sekolah, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan masih banyak yang lainnya. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan senantiasa untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan jika upaya perbaikan pendidikan sudah berusaha mencakup  prinsip kritis meskipun ada banyak. Meskipun ada banyak tantangan, pemerintah tetap berusaha berjuang agar mutu pendidikan meningkat. Bukan hanya pemerintah, namun pihak swasta sebagai mitra pemerintah juga turut membantu terselenggaranya pendidikan yang lebih baik.



PENUTUP

A.    Kesimpulan
Melakukan perubahan memang tidak mudah. Ada banyak tantangan yang harus diperbaiki. Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan pemerintah Indonesia dan pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan untuk terus berjuang meningkatkan kualitas pendidikan. Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memperbaiki pendidikan adalah kualitas dan distribusi guru yang tidakmerata,kurikulum yang menjadi landasan proses pendidikan dan dari pihak siswa itu sendiri.

B.     Saran
Perubahanbukan untuk ditunggu namun diupayakan dengan segala perjuangan. Selama ini, masyarakat terlalu pasif dengan pendidikan, sehingga Penulis berharap, setelah ini masyarakat lebih kritis menyikapi pendidikan sehingga bukan hanya guru yang berjuang namun semua pihak.



DAFTAR PUSTAKA

Affeld, J'Anne & Martha Affeld.  (2015). Education: The Retooling Challenge. International Journal for Innovation Education and Research, Vol.3-2.

Akuntansi Pendidik. (16 Maret 2014). Kurikulum 2013, Suatu Proses Peningkatan Mutu Pendidikan. Diakses tanggal 8 Mei 2015 melalui. http://www.akuntansipendidik.com /2014/03/kurikulum-2013-suatu-proses peningkatan-mutu-pendidikan.html?m=1

Jasmine, Julia. (2012). Metode Pengajaran Multiple Intelligences (Terjemahan Purwanto). Bandung: NUANSA CENDEKIA. (Buku asli diterbitkan tahun 2001).

Kusnandar. (2011). Guru profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Press.

Marjohan. (2009). School Healing: Menyembuhkan Problem Sekolah. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani.

Munif Chatib. (2012). Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara. Bandung: Kaifa.

Sudarwan Danim. (2006). Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.

Tilaar. (2006). Standarisasi Pendidikan Nasional  (Suatu Tinjauan Kritis). Jakarta: Rineka Cipta.


Tobias,  Julia, dkk. (2014) . Towards Better Education Quality: Indonesia’s Promising Path. Development Progress.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar