Kamis, 29 September 2016

LIBURAN KE LOMBOK (Part 2)

Hari pertama di Lombok


Seneng banget akhirnya bisa jalan-jalan di Lombok. Santai aja, tanah Lombok gak pedes kok. (ha? krikkrik…). Pokoknya kalau kamu udah pernah ke Lombok, pasti bakal ketagihan banget buat main ke sana lagi, kayak aku ^_^

Lombok tu pulau yang destinasi wisata alamnya kompliiiiiiiit banget. Ada pantai yang indahnya luar biasa, desa wisatanya yang masih alami, gunung yang magic banget kayak Rinjani. Rinjaniiiiiiiii….

Nah, hari pertama di Lombok, aku sama temen-temen mengunjungi beberapa obyek wisata.
Pertama, kita mengenal dulu masyarakat asli Lombok. Penting nih kita mengenal masyarakatnya karena kalau tak kenal maka tak sayang :-D . Setelah menyiapkan perbekalan, kita pergi ke barat mencari kitab suci, eh mencari Desa Sade. Desa Sade tu salah satu wilayah yang masih mempertahankan keaslian orang Lombok. Dan setelah satu jam perjalanan dari Lombok Timur ke Lombok Tengah sampailah kita ke sana.
Pas kita masuk, disuruh nafas dulu eh disuruh nulis di buku pengunjung dulu. Tyus, langsung deh disamperin sama pemandu wisata yang sudah siap menemani kita jalan-jalan. Ohya, kalau ke sana wajib pakai pemandu. Biayanya murah kok, santai aja.

Bersama pemandu wisata, kita keliling-keliling mengunjungi rumah-rumah penduduk. Jangan dibayangin rumahnya tu kayak rumah gedongan, ni rumah masih alas tanah tapi bersih kok. Terus, katanya sih ubinnya itu dibersihin pakai kotoran sapi tapi gak bau kok. Atap rumahnya dari jerami. Biar lebih jelas, nih aku kasih fotonya..



bagian dalam rumah di Desa Sade

Foto sama pemandu wisatanya.. Terima kasih bapaaaak.. 

Mata pencaharian penduduk Desa Sade adalah menenun dan menjadi pemandu wisata. Kalau kamu pingin belajar menenun, kamu bisa minta tolong sama ibu atau mbak-mbak yang di sana. Mereka ramah dan sabar banget ngajarin pengunjung yang tertarik untuk belajar menenun. Setelah muter-muterin Desa Sade, kita melanjutkan perjalanan keeeee….. KUTA. Eits bukan Kuta Bali ya, tapi Kuta Lombok.

Jarak antara Desa Sade dan Pantai Kuta Lombok gak jauh-jauh banget. Kalau Pantai Kuta Bali ramai banget, di sini kebalikannya banget gaes.. Mungkin karena kita datangnya udah kesiangan jadi pantainya sepi. Tapi nyenengin sih, malah bisa puas-puasin hunting foto hahaaa…
Lanjut, habis dari Kuta kita pergi ke Pantai Seger dan Pantai Mandalika. Pantai Seger sama Mandalika tu sebelahan jadi cukup jalan kaki aja. Pantai Mandalika punya pasir putih yang gedhe-gedhe. Jadi, kalau kita jalan tanpa alas kaki rasanya nyut-nyutan. Pasir di sana biasa disebut pasir merica. Berhubung di Jogja jarang pasir model begituan, aku sama temen-temen sampe bawa pasirnya balik Jogja , wah ndeso tenan wkwk
Di Pantai Mandalika, kalian bisa liat beberapa patung. Konon katanya, patung tersebut awalnya jelmaan seorang puteri yang disukai banyak lelaki. Gak ada pemandu wisata di sana, jadi gak ada yang jelasin sejarahnya ke aku..


Patung di Mandalika

Jembatan Mandalika

Habis dari Mandalika, kita jalan kaki ke Pantai Seger. Sampai di sana wooooooow.. Pantainya asyik banget buat renang. Sayang seribu sayang, aku sama temen-temen lupa gak bawa baju ganti. Akhirnya kita naik bukit ajalah.. Bukitnya bagus kok. Dari bukit tersebut kita bisa melihat hamparan pantai yang luas. Gak nyesel deh sampai sana.
Bukit di Pantai Seger.. Inframe: my bestfriend
Terakhir, kita mengunjungi Pantai Tanjung Aan. Ini nih yang ajib banget. Sumpah bagus banget. Awesome.. saking bagusnya aku bingung mendeskripsikannya. Warna airnya, ombaknya, bukitnya, suasanya, bercengkrama menjadi satu kesatuan yang membuat semua orang rasanya gak pingin pulang kalau udah di sana. Kalau kamu naik ke bukit, kamu bakal liat batu yang bentuknya LOVE. Terus kalau kamu gak kesorean ke sana, kamu juga bisa mampir ke batu payung. Itu loh lokasi yang dipakai buat syuting iklan rokok. Dan yang pasti, kamu harus naik ke bukit Merese. Bukitnya gak jauh dari pantai.
Bukit di Tanjung Aan, bawahnya ada batu bentuk LOVE
Udah puas ngeliatin pantai di atas bukit, terus kita turun. Ohya, kebanyakan pantai di Lombok masih perawan. Jadi kalau kita ke sana sepiiiii banget. Terus masih alami dan bersih. Untuk fasilitas, kalau di Pantai Kuta sih depannya banyak penginapan, kalau di Pantai Seger enggak. Terus, jarang ada penjual jadi lebih baik bawa makan dari rumah atau beli di jalan. Kalau kalian pingin ke Pantai Tanjung Aan mending pagi aja deh, biar bener-bener bisa menikmati wisata di sana. Kalau udah sore, gak bisa main ke Batu Payung. Selain itu, juga kurang aman. Kalau kalian ke sana, harus ada cowoknya karena beberapa lokasi jauh dari penduduk dan masih rawan sama tindakan kriminal.
Udah capek jalan-jalannya, ayo come back home!



REVIEW JURNAL EDUCATION: THE RETOOLING CHALLENGE by J'Anne Affeld&Martha Affeld

SINOPSIS

Anak-anak dilahirkan untuk belajar dan mendorong kemampuan mereka merasa aman dan memiliki harapan untuk berhasil di masa depan. Anak-anak membutuhkan perhatian, kasih sayang, keamanan, pertumbuhan, persahabatan, pengetahuan, sukses. Kurikulum yang muncul dari esensi alam anak-anak ini adalah memotivasi dan mendukung keuntungan akademik. Merawat generasi penerus bangsa, keturunan kita, dan umat manusia dan  menentukan masa depan, berdasarkan pada seberapa sukses kita mengenali bakat dan kemampuan anak. Sekolah yang memegang prinsip-prinsip ini, dalam beberapa hal memberikan hasil ini, menarik perhatian kita untuk bertindak dalam mendukung pekerjaan.

Tantangan Pembaharuan
Fokus utama dalam setiap tantangan ilmiah adalah memperbaiki pendidikan. Untuk membuat kemajuan, sangat penting untuk menentukan bagaimana mengenali dan kemudian mengukur apa yang kita cari. Sistem pendidikan yang menghormati apa yang mahasiswa peroleh, yang mempersiapkan setiap anak untuk mengaktualisasi potensi pribadi dengan cara yang positif, penguatan anak, keluarga, masyarakat, dan berfokus waktu, energi dan mendukung untuk membangun hal umum melalui aktualisasi individu. Sekolah, ketika mereka berhasil, benar-benar melayani anak-anak dan bersedia melakukan masa depan.
Prinsip kritis untuk tantangan pendidikan dijelaskan sebagai berikut.
1.      Belajar berlainan dan khas untuk setiap siswa.
Semua anak memiliki kebutuhan khusus dan semua anak-anak membutuhkan bantuan khusus untuk mendukung belajar.
2.      Setiap anak berharga dan unik.
Manusia merupakan makhluk yang kompleks dan setiap orang adalah individu yang tak ternilai.
3.      Ilmu manusia adalah landasan dasar untuk mengajar.
Repositori penelitian dan pengetahuan tentang bagaimana manusia tumbuh disebut Human Development. Kita perlu guru untuk memahami anak-anak cara, berpikir, belajar, dan tumbuh.
4.      Tujuan  hasil pendidikan adalah potensi siswa.
Kita harus mendidik anak, berdasarkan siapa dia, apa yang dia butuhkan, apa yang dibutuhkan untuk mendapatkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Tujuannya adalah mengetahui setiap anak dan menetapkan jalan untuk membangun kekuatan keterampilan yang tepat dan mengasah kemampuan bersamaan.
5.      Amerika adalah benteng harapan dan kebesaran.
Banyak pihak yang menjadikan pendidikan AS sebagai acuan padahal pendidikan di sana telah kehilangan pemahaman tentang keindahan individu dan kontribusinya untuk keseluruhan.
6.      Aliran kurikulum membangun bagaimana kita belajar.
Fokus pendidikan dapat mempersiapkan setiap siswa dan mengasah keterampilan, kemampuan, kekuatan, dan keunggulan akademik ke titik tertinggi untuk orang tersebut. Ide kurikulum datang dan pergi, namun mereka masih terikat konstruksi tradisional. Kemajuan terbaru dalam memahami otak dan keterlibatan tubuh dalam belajar, berpikir, pengolahan dan mengingat harus merevolusi pendekatan pembelajaran siswa. Usaha yang dapat kita lakukan adalah mengidentifikasi dan menyiapkan pendidikan yang menghormati proses dan potensi pergeseran nasional, tes baru, memperbaiki pengajaran, memikirkan kembali apa yang kita lakukan dan bagaimana kita bisa benar-benar mendidik untuk masa depan.
7.      Hasil untuk siswa mengarahkan kurikulum
Dengan menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak menguntungkan bagi mereka, kita membuang peluang mereka untuk belajar hal-hal yang bermakna, memberikan kesenangan, rasa keberhasilan dan penyelesaian. Untuk mendukung outcome sesuai dengan bakat siswa dapat dilakukan dengan mengoptimalkan kemampuan siswa menggunakan proses penilaian berbasis kekuatan, dicocokkan dengan minat dan gairah siswa. Serta, mengikuti pedoman yang sama dan pemanfaatan keahlian profesional yang membutuhkan rencana transisi dan IEPs, dengan perencanaan termasuk siswa, keluarga, penilaian profesional dan profesional sekolah berkomitmen dengan sumber daya masyarakat.
8.      Mendukung pembelajaran bagi seluruh anak, termasuk keterampilan hidup dan keterampilan fungsional.
Keterampilan fungsional dan kehidupan, belajar dan proses berpikir juga perlu diajarkan.
9.      Pengujian dan evaluasi formatif yang penting dan proses sumatif dan kita perlu alat yang lebih baik.
Untuk menggunakan data dengan benar dan mendapatkan penggunaan nyata, kita harus mereformasi praktek pengujian berdasarkan target prinsip-prinsip panduan yang telah direncanakan. Kita perlu mengukur dan mendefinisikan proses dan hasil. Setelah kita menentukan apa pendidikan dapat dan akan mencapai tujuan, kita perlu proses pengujian yang valid dan reliable  untuk mengukur kemajuan itu.
10.  Staf sekolah perlu kerja yang berbeda.
Guru adalah akselerator, focus, support dan menambah bahan bakar atau energi untuk meningkatkan proses belajar mengajar sehingga harus memiliki keterampilan.
11.  Persiapan guru juga akan memperlengkapi.
Guru perlu diajarkan, dilatih, dan berubah menjadi profesional dan kemudian dimasukkan kembali ke dalam proses pendidikan secara berkala untuk meningkatkan praktik terbaik dan infus set keterampilan baru dan praktek.
12.  Keberadaan hukum untuk mendukung praktek terbaik
Ini adalah waktu untuk menegaskan bahwa semua anak harus dilayani, berdasarkan  rencana pendidikan individu tetapi ini tidak bisa hanya berlaku untuk anak-anak yang diidentifikasi dalam pendidikan khusus.
Singkatnya, Sudah saatnya bagi sekolah untuk mencerminkan, kehormatan dan mendukung kebutuhan siswa. Pendidikan tidak sakit atau rusak. Ini adalah waktu untuk memperlengkapi kembali, meninggalkan warisan kebesaran, dan kejelasan untuk tumbuh menjadi nilai baru, visi baru, dan arah baru.
PEMBAHASAN

Pendidikan di Amerika Serikat selama ini menjadi acuan bagi negara-negara lain. Di sisi lain, pendidikan di negara tersebut belum memfasilitasi mengenai perbedaan individual sehingga pendidikan lebih mengarah pada memenuhi kebutuhan negara dan bisnis. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Johnson (Jasmine, 2012: 216) “Gardner percaya bahwa sistem sekolah di AS-dan diikuti oleh hampir semua negara yang pendidikannya berkiblat kepadanya- terlalu menonjolkan kecerdasan  linguistik dan logis-matematis ketimbang kecerdasan lainnya”. Hal itu menyalahi kodrat anak, dimana anak adalah individu yang unik dan memiliki bakat masing-masing. Anak-anak harus dirawat dengan baik karena mereka yang akan melanjutkan peradaban dunia. Oleh karena itu, perlu adanya revolusi pendidikan. Revolusi pendidikan bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Membutuhkan waktu yang lama, sinergi dari semua pihak dan sistem yang kuat untuk melaksanakannya.
Ada banyak tantangan dalam revolusi pendidikan. Salah satu tantangan revolusi dalam pendidikan dicetuskan oleh J'Anne Affeld &Martha Affeld dalam jurnalnya yang berjudul Education: The Retooling Challenge. Jurnal tersebut  menjelaskan mengenai prinsip kritis yang harus dihadapi untuk memperbaiki pendidikan.
Permasalahan mengenai pendidikan tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Indonesia sebagai salah satu negara yang mengadopsi pendidikan negara tersebut, juga mengalami permasalahan dalam pendidikan. Permasalahan mengenai pendidikan di Indonesia akan dijelaskan sebagai berikut.

Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Sudarwan Danim (2006: 87-89) menjelaskan tujuan pendidikan dasar adalah memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara dan anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah. Namun, praktik pendidikan di Indonesia masih jauh dari mencapai tujuan pendidikan. Guru, sebagai ujung tombak pendidikan, memiliki peranan yang sangat penting dalam peningkatan kualitas. Namun, hasil penelitian menunjukkan afiliasi guru di dalam gerakan reformasi  tersebut diarahkan pada afiliasinya terhadap disiplin illmu dan politik, bukan terhadap peran guru sebagai yang memfasilitasi proses pendidikan (Tilaar, 2006: 89).  Hal ini terjadi karena mutu guru-guru di Indonesia masih memprihatinkan. Data Balitbang tahun 2001 menunjukkan guru SD (baik negeri maupun swasta) yang dinilai layak mengajar hanya 38%  dari 1.141.168 guru se-Indonesia (Kusnandar, 2011: 41).
Pengajaran yang dilakukan guru masih bersifat teacher centered. Pembelajaran  masih textbook, proses belajar mengajar didominasi ujian, minimnya kegiatan ekstrakurikuler yang bermanfaat yang dapat memperkaya wawasan siswa untuk menghadapi dunia kerja serta kehidupan nyata (Marjohan, 2009: 19). Hal tersebut menyebabkan kemerosotan daya tarik sekolah.  Dunia pendikan juga belum bisa menjanjikan outcome yang baik. Sekolah bertahun-tahun tapi hasilnya tidak jelas. Pendidikan kita hanya mampu melahirkan generasi yang senang meramaikan mal, plaza dan tempat-tempat rekreasi ((Marjohan, 2009: 49). Barangkali hal itu terjadi karena pemerintah, masyarakat, orang tua, sekolah, dan media massa telah salah dalam mendidik sehingga semua pihak tersebut harus ikut bertanggung jawab. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka pemerintah Indonesia melakukan beberapa upaya yang akan dijelaskan pada subbab berikutnya.

Upaya Perbaikan Pendidikan di Indonesia
Dalam rangka memperbaiki kualitas pendidikan, pemerintah melakukan beberapa upaya yaitu  memperbaiki kurikulum, meningkatkan kualitas guru, dan memberikan otonomi kepada pihak swasta untuk mengembangkan sekolah. Perbaikan kurikulum yang mencakup pembaharuan materi, metode mengajar, dan penilaian. Kurikulum Indonesia sudah beberapa kali dirombak. Yang terbaru adalah kurikulum 13. .Kurikulum 13 merupakan kurikulum yang diadopsi dari Finlandia (Akuntansi Pendidik, 16 Maret 2014). Kurikulum ini mengedepankan pada pemahaman, keterampilan, kreativitas, dan  pendidikan  karakter dimana guru dituntut merancang pembelajaran afektif dan bermakna, mengorganisasikan pembelajaran, memilih pendekatan pembelajaran yang tepat, menentukan prosedur pembelajaran dan pembentukan kompetensi secara efektif, serta menetapkan kriteria. Pelaksanaan kurikulum ini didukung oleh Permendikbud No 57 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan  nasional, maka pemerintah terus berupaya memperbaiki kualitas guru. Melalui UU Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 29 ayat 2 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah memutuskan pendidik SD/MI memiliki kualifikasi akademik minimal S1, berlatar belakang pendidikan SD/MI, dan sertifikasi profesi guru untuk SD/MI. Sertifikasi guru adalah proses peningkatan mutu dan uji kompetensi tenaga pendidik dalam mekanisme yang telah diatur pemerintah. Selain sertifikasi, upaya peningkatan kualitas juga dilakukan dengan program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Pemerintah juga menetapkan  komponen kompetensi guru. Direktorat tenaga kependidikan Depdiknas, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang standar kompetensi guru meliputi empat komponen, yaitu 1) pengelolaan pembelajaran, 2) pengembangan potensi, 3) penguasaan akademik, 4) sikap kepribadian. Pada tahun 2005 pemerintah juga mengeluarkan UU No 14 tentang Guru dan Dosen, yang menggarisbawahi semua guru harus memiliki kompetensi dasar yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan professional.
Selain itu, dukungan dari pihak swasta dengan menciptakan sekolah-sekolah yang berbeda juga mendukung peningkatan output pendidikan. Pendidikan nasional mengakui pendidikan yang dibiayai oleh masyarakat (lembaga-lembaga pendidikan swasta) sebagai mitra pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa (Tilaar, 2009: 17-18). Sekolah swasta yang berangkat dari visi dan misi yang sesuai dengan lingkungannya, bermodalkan guru yang berkualitas, dikekola dengan penuh dedikasi dan disiplin tinggi sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi akan mendapatkan simpati masyarakat. Pendidikan swasta memiliki otonomi yang lebih luas dari pada pendidikan yang dinaungi oleh pemerintah, tidak terkecuali dalam menentukan kurikulum. Contohnya Sekolah Multiple Intteligence yang didirikan oleh Munif Chatib yang bertujuan untuk menciptkan pembelajaran yang mengedepankan kecerdasan majemuk.

Tantangan Upaya Perbaikan Pendidikan di Indonesia
Tobias, dkk (2014, 35-38) dalam jurnalnya yang berjudul Towards Better Education Quality: Indonesia’s Promising Path menyebutkan ada beberapa tantangan dalam upaya memperbaiki pendidikan SD di Indonesia. Pertama, variabel tingkat pembelajaran dan permasalahan pemerataan. Variasi regional dan terdapat ketidakadilan dalam distribusi guru dan sumber daya di seluruh wilayah merupakan masalah yang signifikan. Pendidikan yang sangat tertinggal di Indonesia bagian timur menunjukkan ada 72 kabupaten yang masih memiliki tingkat pendaftaran pendidikan dasar di bawah 90% pada 2012-2013. Kedua, kesinambungan keuangan dan efektivitas biaya reformasi. Biaya besar terkait dengan sertifikasi dan peningkatan gaji utama dapat menyerap pengeluaran tingkat pendidikan. Ada juga kekhawatiran bahwa Program BSM (beasiswa) mungkin tidak efektif dalam melayani masyarakat miskin. Data dari tahun terakhir menunjukkan setengah dari semua dana BSM untuk  40% dari populasi siswa termiskin, sementara separuh lainnya menguntungkan mereka yang terkaya 60%.
Ketiga, cakupan, pemerataan dan kualitas pelayanan anak usia dini dan pendidikan. Angka partisipasi kasar untuk pra-primer meningkat dari 24,8% pada tahun 2000 menjadi 41,5% di 2011. Pendaftaran berumur antara 4-6 tahun dari kuintil termiskin meningkat dari 19% menjadi 36% di 2004-2010. Ada perbedaan yang cukup besar dalam cakupan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Keempat, pendidikan transisi kerja. Bukti dari Organisasi Buruh Internasional (ILO 2013) menunjukkan transisi sekolah ke bekerja tetap sulit, dengan tingkat pengangguran kaum muda berfluktuasi antara 20-32% pada 2000-2011 dan bukti setengah pengangguran kaum muda.

Analisis Tantangan dan Perbaikan Pendidikan di Indonesia dengan Prinsip Kritis
Dua belas prinsip kritis yang dicetuskan oleh J'Anne Affeld & Martha Affeld  merupakan tantangan yang mungkin terjadi untuk memperbaiki mutu pendidikan,. Melalui prinsip tersebut, diharapkan  pendidikan dapat merawat generasi penerus bangsa sehingga akan tercipta anak-anak yang luar biasa. Berdasarkan penjelasan pada subbab sebelumnya, maka berikut ini akan dijelaskan sejauh mana  upaya pemerintah dalam menghadapai tantangan serta kesesuian program-program pendidikan di Indonesia dengan The Retooling Education.
Pertama, setiap anak memiliki ciri khas yang berbeda dan pembelajaran harusnya memfasilitasi perbedaan individual ini. Perbedaan yang menghargai kekhasan setiap anak dapat diartikan sebagai upayauntuk menghargai bahwa setiap anak itu unik dan berharga. Di Indonesia pembelajaran yang memfasilitasi perbedaan sedang digalakkan. Ini dapat dilihat dari garis besar kurikulum 13, dimana dalam kurikulum tersebut, terdapat berbagai macam kegiatan seperti menyanyi, eksperimen, membuat karya, berbicara di depan kelas, dll. Selain itu, kurikulum tersebut juga menghilangkan sistem ranking sehingga siswa dengan kecerdasan akademik yang biasa saja tidak merasa termarjinalkan. Melalui kegiatan tersebut, tidak hanya anak dengan kecerdasan linguistik dan logika yang terfasilitasi pembelajarannya, namun anak dengan kecerdasan musikal,  interpersonal, kinestetik, juga terfasilitasi perkembangannya. Bahkan, sekolah yang didirikan oleh Munif Chatib secara terstruktur menerapkan multiple intelligence untuk memfasilitasi perbedaan. Namun, guru-guru masih belum yakin dengan hal tersebut. Informasi akan masuk ke dalam otak siswa dan tak terlupakan seumur hidup apabila informasi tersebut ditangkap berdasarkan gaya belajar siswa (Munif Chatib, 2012: 33).
Kedua, ilmu manusia adalah landasan dasar untuk mengajar sehingga guru yang mengajar harus dari ilmu yang linier dan berkompeten. Pemerintah sudah menetapkan UU Guru dimana berdasarkan undang-undang tersebut, guru SD seharusnya sarjana lulusan SD/MI atau sudah menempuh persamaan. Namun, kualitas guru di Indonesia memang belum maksimal. Itu dibuktikan dengan data balitbang yang menyatakan hanya 38%  dari 1.141.168 guru se-Indonesia (Kusnandar, 2011: 41) yang dinilai layak mengajar. Oleh karena itu, pemerintah melaksanakan sertifikasi dan PPG untuk meningkatkan kualitas guru. Dengan peningkatan kualitas guru, maka akan diperoleh pembelajaran yang berbeda. Guru sebagai garda terdepan dalam pendidikan maka harus memiliki kompetensi baik pedagogik, kepribadian, professional, dan sosial. Selain itu, ada berbagai kegiatan untuk mendukung guru agar melakukan kerja yang berbeda seperti seminar, diklat, kunjungan sekolah dan KKG. Ini dapat dilihat dari Upaya pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru melalui program sertifikasi, diklat, seminar, dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Setiap awal semester, guru juga sudah membuat silabus, program semester dan RPP. Namun di daerah yang tergolong 3T, upaya seperti itu sulit untuk dilakukan. Hal itu terjadi karena jumlah guru kurang memadai dengan kualitas yang lebih rendah dibanding daerah perkotaan.
Ketiga, tujuan  pendidikan adalah potensi siswa. Sekolah tidak hanya untuk mendapatkan nilai 100 karena nilai tersebut belum bisa merepresentasikan potensi siswa. Pemerintah menyadari betapa pentingnya potensi siswa sehingga memberikan kesempatan sekolah untuk memberikan kecakapan atau keterampilan hidup yang diintegrasi dalam pembelajaran. Pemerintah melalui Permendikbud No 62 tahun 2014 menjelaskan tentang ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ini berarti pemerintah mendorong keterampilan hidup dan fungsional siswa. Pada kurikulum 13, pemerintah juga meminimalkan jumlah mata pelajaran dari 10 menjadi 6 mata pelajaran untuk tingkat Sekolah Dasar. Dengan adanya pengurangan ini diharapkan anak-anak tidak perlu mempelajari tentang hal-hal yang tidak bermakna. Anak-anak cukup mempelajari materi yang sesuai dengan tahap perkembangannya dan kebutuhannya di masa depan.
Keempat, Aliran kurikulum membangun bagaimana kita belajar. Setiap kurikulum memiliki prinsip tersendiri dan prinsip-prinsip inilah yang mempengaruhi kegiatan yang akan dilakukan. Misalnya, Kurikulum 13 mengedepankan tentang pemahaman, keterampilan, kreativitas, dan pendidikan  karakter sehingga pembelajaran bergerak sesuai dengan hal-hal tersebut. Sebagaimana pendapat Affeld, J'Anne &Martha Affeld  (2015) yang menjelaskan bahwa kemajuan terbaru dalam memahami otak dan keterlibatan tubuh dalam belajar, berpikir, pengolahan dan mengingat harus merevolusi pendekatan pembelajaran siswa maka kurikulum 13 pun menerapkan hal tersebut. Penyusun kurikulum 13 juga menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia sehingga kurikulum yang diadopsi dari Finlandia tersebut, tidak merusak tatanan masyarakat namun malah bersinergi dengannya.
Terakhir, keberadaan hukum untuk mendukung praktek terbaik. Pemerintah sudah berkali-kali mengeluarkan kebijakan pendidikan untuk mendapatkan praktek terbaik. Misalnya, Permendikbud No 57 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Permendikbud No 62 tahun 2014 tentang ekstrakurikuler yang ada di sekolah, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan masih banyak yang lainnya. Peraturan-peraturan yang dikeluarkan senantiasa untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan jika upaya perbaikan pendidikan sudah berusaha mencakup  prinsip kritis meskipun ada banyak. Meskipun ada banyak tantangan, pemerintah tetap berusaha berjuang agar mutu pendidikan meningkat. Bukan hanya pemerintah, namun pihak swasta sebagai mitra pemerintah juga turut membantu terselenggaranya pendidikan yang lebih baik.



PENUTUP

A.    Kesimpulan
Melakukan perubahan memang tidak mudah. Ada banyak tantangan yang harus diperbaiki. Namun, kondisi tersebut tidak menyurutkan pemerintah Indonesia dan pihak-pihak yang peduli dengan pendidikan untuk terus berjuang meningkatkan kualitas pendidikan. Tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memperbaiki pendidikan adalah kualitas dan distribusi guru yang tidakmerata,kurikulum yang menjadi landasan proses pendidikan dan dari pihak siswa itu sendiri.

B.     Saran
Perubahanbukan untuk ditunggu namun diupayakan dengan segala perjuangan. Selama ini, masyarakat terlalu pasif dengan pendidikan, sehingga Penulis berharap, setelah ini masyarakat lebih kritis menyikapi pendidikan sehingga bukan hanya guru yang berjuang namun semua pihak.



DAFTAR PUSTAKA

Affeld, J'Anne & Martha Affeld.  (2015). Education: The Retooling Challenge. International Journal for Innovation Education and Research, Vol.3-2.

Akuntansi Pendidik. (16 Maret 2014). Kurikulum 2013, Suatu Proses Peningkatan Mutu Pendidikan. Diakses tanggal 8 Mei 2015 melalui. http://www.akuntansipendidik.com /2014/03/kurikulum-2013-suatu-proses peningkatan-mutu-pendidikan.html?m=1

Jasmine, Julia. (2012). Metode Pengajaran Multiple Intelligences (Terjemahan Purwanto). Bandung: NUANSA CENDEKIA. (Buku asli diterbitkan tahun 2001).

Kusnandar. (2011). Guru profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Press.

Marjohan. (2009). School Healing: Menyembuhkan Problem Sekolah. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani.

Munif Chatib. (2012). Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara. Bandung: Kaifa.

Sudarwan Danim. (2006). Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.

Tilaar. (2006). Standarisasi Pendidikan Nasional  (Suatu Tinjauan Kritis). Jakarta: Rineka Cipta.


Tobias,  Julia, dkk. (2014) . Towards Better Education Quality: Indonesia’s Promising Path. Development Progress.

REVIEW JURNAL EXPLORING CREATIVE ENVIRONMENTS THROUGH THE CHILD’S LENS by Deirdre Grogan&Joan Martlew

BAB I
SINOPSIS

1.      Pengantar: Konteks sekarang
Robinson (2010) menunjukkan bahwa pendidikan dapat mengurangi kreativitas anak-anak.  Tajam (2003) melakukan tinjauan di Inggris yang berusaha untuk menyajikan gambaran arus keadaan penelitian dan berpikir tentang hubungan antara seni dan pengembangan kreatif pada anak-anak (usia 3-6 tahun). Dia bertujuan untuk mengidentifikasi masalah, kesenjangan dan prioritas untuk penelitian lebih lanjut dan menemukan  dampak pada anak-anak yang bekerja dengan seniman profesional dalam hal kreativitas mereka. 
Grainger et al. (2006) menyarankan bahwa kreativitas tidak terbatas pada area kurikuler tertentu tetapi justru  elemen penting untuk banyak mata pelajaran karena mendukung kemampuan untuk memecahkan masalah dan menghasilkan ide-ide baru. Gagasan  ini tidak terbatas pada sistem pendidikan formal tetapi juga berlaku untuk organisasi lain dan proyek-proyek yang mungkin terlibat, tidak hanya berpikir artistik dan imajinatif tetapi kemampuan untuk menjadi pandai, inovatif dan inventif.
Starcatchers adalah proyek yang dibangun oleh empat seniman yang masing-masing bekerja selama setahun di teater Skotlandia dengan melibatkan anak-anak dan keluarga mereka dalam berbagai seni terkait pengalaman kinerja dalam komunitas lokal mereka. Pendekatan Starcatchers bertujuan untuk menciptakan pengalaman seni bersama dengan anak-anak dan mungkin dengan keluarga dan pendidik awal. 
2.      Metodologi
Penelitian ini mengambil bentuk studi eksplorasi skala kecil yang difokuskan pada pengembangan desain kinerja masing-masing oleh seniman. Data dikumpulkan melalui metode berikut;  wawancara semi-terstruktur dengan para seniman, meninjau blog seniman dan pengamatan narasi, foto, dan rekaman video dari kinerja masing-masing.
3.      Skema dari Pengamat Bintang Artis-Sebuah Akun Didokumentasi dari Empat Pertunjukan
Fokus utama dari kinerja kediaman artis pertama di Byre adalah hubungan antara kinerja dan bermain kreatif menggunakan boneka, benda, musik dan perkusi untuk mendorong anak-anak menggunakan imajinasi mereka. Artis dan tim pengembangan eksperimen dengan berbagai benda melingkar, termasuk lingkaran, drum dan cakram, menemukan cara untuk bermain dan berinteraksi dengan mereka. Artis menggambarkan tahap berikutnya menjadi sesuatu yang puitis, teater dan indah, mengembangkan lingkungan dari cerita seputar tindakan, membangun untuk klimaks, membuat sesuatu yang lebih besar atau mengubah posisi benda. Aspek penting lain adalah menciptakan lingkungan yang interaktif.
Fokus utama dari kinerja kediaman artis kedua di Tramway bertujuan untuk merangsang pemikiran kreatif anak muda dengan cara yang tidak tergantung pada kata yang diucapkan melainkan berfokus pada cara-cara komunikasi alternatif. Fokus utama dari kinerja kediaman artis ketiga di Carnegie Hall bertujuan untuk melibatkan berbagai usia (lahir sampai empat tahun) pada tingkat yang berbeda. Anak-anak yang sangat muda menikmati gerakan, warna dan suara sedangkan untuk usia lebih tua menikmati pemain, yang bertepuk tangan  interaktif dan kesempatan untuk menari dari dalam penonton dan untuk menemukan saat "Oops sebuah Daisy" .
Kediaman Artis Keempat di Platform menjelaskan cerita berlangsung dan seniman menggunakan gerakan berlebihan atau ekspresi terkejut untuk menyampaikan plot. Perubahan set dari hari ke malam hari, dikorporasi menggunakan benda sehari-hari. Kinerja ditingkatkan dengan penggunaan kedua musik yang menenangkan dan energik, cocok untuk gerakan aktor dan alur cerita berkembang.
4.      Refleksi Artis di Setiap Pertunjukan
Berdasarkan hasil refleksi dari keempat kediaman artis ditemukan pengakuan berupa pengalaman yang menyenangkan dan mendalam untuk membuat teater bersama anak-anak atau orang dewasa.
5.      Diskusi
Dalam lingkungan belajar ada beberapa bukti bahwa, dalam rangka untuk merangsang respon kreatif dari anak-anak, pengalaman belajar membutuhkan unsur kebaruan (Rutland dan Barlex, 2008) namun unsur kebaruan tidak didefinisikan tetapi menyatakan bahwa anak-anak harus termotivasi dan responsif terhadap lingkungan yang dibuat menarik bagi anak-anak.Proyek Starcatchers bertujuan untuk menantang apa yang bisa dibuat untuk anak-anak dengan cara yang langsung melibatkan mereka dan orang-orang penting di sekitar mereka. Csikszentmihalyi (1997:. P 23) menegaskan bahwa, "kreativitas tidak terjadi dalam kepala orang, tetapi dalam interaksi antara pikiran seseorang dan konteks sosial budaya". Oleh karena itu pemeriksaan konteks sosial budaya di mana keluarga dapat membantu mengembangkan kreativitas anak-anak, membentuk lingkungan fisik dan sumber daya yang tersedia dengan cara mengusulkan dan mendorong cara-cara baru untuk berinteraksi dengan ruang akrab dan memberikan anak-anak kesempatan untuk bereksperimen dan mengeksplorasi sumber daya ini.
6.      Kesimpulan
Desain lingkungan belajar yang kreatif harus memastikan bahwa anak-anak menjadi akrab dengan peluang, sumber daya, potensi belajar dengan kesadaran dan keyakinan bahwa orang dewasa akan mendukung pemikiran kreatif mereka. Edelman (2007) menyatakan bahwa "imajinasi relatif bebas dari batasan tujuan", oleh karena itu setiap kinerja memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk memperpanjang kreativitas mereka sendiri tanpa perlu menghasilkan produk akhir yang diharapkan. Akhirnya, jika kita berdiri kembali dan mengambil waktu untuk mengamati anak-anak dalam lingkungan belajar yang kreatif, kita akan mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana anak-anak muda berpikir dan belajar dan berdampak pada keyakinan pedagogis kita sendiri dan praktek kita sendiri. "Menciptakan keharmonisan, lingkungan yang berarti dalam ruang dan waktu membantu Anda untuk menjadi pribadi yang kreatif" (Csikszentmihalyi, 1996: 146) .
BAB II
PEMBAHASAN

Mengajar merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Apalagi di era sekarang ini,banyak siswa yang berperilaku menyimpang. Misalnya, kasus yang belum lama ini mengguncang dunia pendidikan yaitu tindakan kekerasan sekelompok anak SMA bahkan sampai menculik korban yang terjadi di Yogyakarta. Peristiwa itu menunjukkan betapa moral pelajar kita mengalami permasalahan. Hal itu tidak hanya terjadi saat usia remaja, tetapi juga mulai muncul sejak anak masih bersekolah di pendidikan anak usia dini (PAUD). Memang tidak semua pelajar seperti itu, namun setidaknya kasus bullying sudah menjadi hal yang biasa dalam dunia pendidikan. Salah satu penyebab tindakan tersebut adalah kurang adanya ruang untuk berekspresi atau mencurahkan kreativitas dalam kehidupan sehari-hari.
Pelajar masa kini lebih sering dijejali dengan padatnya materi pembelajaran yang ada di sekolah. Alih-alih mengembangkan softskill-nya, mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dan ikut berbagai les dimana-mana. Awalnya, kegiatan tersebut memang dapat meningkatkan wawasan siswa, namun lama-kelamaan siswa mersa jenuh dan bosan sehingga mereka melampiaskan perasaannya dengan kegiatan yang kurang bermanfaat.
Lebih dari itu,pendidikan  formal di sekolah lebih menstimulus kerja otak kiri dari pada otak kanan seperti kegiatan membaca, menulis, berhitung atau matematika (Kompas, 2002). Pembelajaran yang terlalu mengedepankan otak kiri menyebabkan otak kanan yang berfungsi mengembangkan kreativitas siswa kurang berkembang. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Robinson (Grogan, Deirdre & Joan Martlew, 2014: 2) yang mengungkapkan bahwa “Pendidikan dapat mengurangi kreativitas anak-anak”. Kurangnya stimulus yang diberikan kepada anak, sebenarnya sudah terjadi sejak balita. Sejak kecil, banyak anak yang kurang mendapatkan stimulus karena waktunya dihabiskan di tempat penitipan anak. Bahkan, Courage&Setliff  (Schunk, D.H, 2012: 75) mengungkapkan sekitar 60% bayi dan balita menghabiskan waktu sekitar satu sampai dua jam  menonton TV atau video. Meskipun mereka mungkin mendapatkan pembelajaran dari tontonan tersebut, tetapi itu tidak mudah jika dilakukan sendiri. Pemahaman akan meningkat jika ada pendamping yang menjelaskan mengenai apa yang mereka tonton. Kondisi tersebut menyebabkan kreativitas anak kurang berkembang.
Perkembangan kreativitas sangat dipengaruhi oleh otak kanan. Otak kanan berfungsi dalam artistik, kreatif dan naluriah (Rismawati, 2012). Pemikiran yang dihasilkan oleh otak kanan sangat luas dan tak terbatas. Oleh karena itu, bukan hal yang mengherankan jika seseorang menggambar benda yang belum pernah dilihatnya bahkan tidak ada di bumi karena imajinasi yang lahir dari kreativitas otak kanan dapat menembus ruang dan waktu.
Kreativitas tidak semata-mata diperoleh berdasarkan faktor keturunan namun dipengaruhi oleh stimulus. Otak memiliki cabang sel  syaraf yang disebut dendrit. Dendrit berfungsi mengirim rangsangan atau stimulus ke badan sel saraf. Mantra Kaudfeldt (2008: 15) menjelaskan dendrit-dendrit akan menjadi kuat bila “synapsis” (hubungan-hubungan antar syaraf) semakin sering dirangsang. Ingatan terbentuk ketika sebuah kelompok neutron-neutron diaktifkan dan menyala bersama. Tanpa sering dirangsang, otak akan memangkas cabang-cabang yang tidak digunakan.
Otak akan memberikan tanggapan yang terbaik ketika anak melihat makna dan dapat membuat suatu hubungan pada pengalaman-pengalaman sebelumnya. Jika tugas-tugas terlalu sukar, pengembangan yang tidak sesuai, tidak relevan, atau tidak cukup menantang, maka otak cenderung tidak bekerja. Unsur-unsur kimiawi otak yang diperlukan tidak dilepaskan, pertumbuhan dendritik tidak dirangsang, dan pembelajaran secara optimal tidak terjadi. Maka sangat penting memberikan stimulus agar otak kanan yang mengatur kreativitas dapat berkembang.
Kreativitas juga sangat dibutuhkan untuk membantu anak dalam menyelesaikan permasalahan hidup dan bersaing secara global. Oleh sebab itu, memfasilitasi ruang untuk menyalurkan kreativitas siswa merupakan ranah yang penting. Melalui ranah tersebut, siswa dapat menyalurkan ekspresi dan emosi dengan tepat. Oleh karena itu, dunia pendidikan memiliki tanggung jawab dalam memberikan kesempatan menyalurkan kreativitasnya sehingga anak terbiasa berpikir kreatif sejak kecil.
Kreativitas dapat diintegrasikan dalam  mata pelajaran ataupun dimasukkan dalam ekstra kurikuler. Sebagaimana yang disarankan oleh Grainger et al. (Grogan, Deirdre & Joan Martlew, 2014: 2)  bahwa kreativitas tidak terbatas pada area kurikuler tertentu tetapi justru  elemen penting untuk banyak mata pelajaran karena mendukung kemampuan untuk memecahkan  masalah dan menghasilkan ide-ide baru. Gagasan  tersebut  tidak terbatas pada sistem pendidikan formal tetapi juga berlaku untuk organisasi lain dan proyek-proyek yang mungkin melibatkan kemampuan untuk menjadi pandai, inovatif dan inventif.
Deirdre Grogan & Joan Martlew dalam jurnalnya yang berjudul Exploring Creative Environments through the Child’s Lens mencoba melihat dampak pada anak-anak yang bekerja dengan seniman profesional dalam hal kreativitas mereka. Berdasarkan penelitan tersebut,ditemukan fakta yang paling penting untuk memfasilitasi kreativitas anak adalah  konteks akrab. Hal itu untuk memastikan bahwa anak-anak merasa nyaman di lingkungan dan lebih responsif terhadap kinerja. Sebagaimana yang diungkapakn oleh Sue Cowley (2010: 175),  untuk menciptakan kreativitas siswa, guru dapat membuat ruang kelas menjadi:
1.      terbuka untuk siapa saja
2.      rapi dan tidak acak-acakan
3.      tertata dengan baik
4.      memiliki alat bantu belajar yang lengkap
5.      susunannya jelas
6.      nyaman dan aman
7.      menyenangkan, penuh warna, menarik, multisensory
8.      bersifat personal bagi anda
ASCD (Mantra Kaudfeldt, 2008: 10) juga mengungkapkan bahwa
Pendekatan-pendekatan untuk sekolah yang para penyidik percayai adalah yang sesuai dengan penyelidikan terbaru pada otak dan pembelajaran manusia. Para penasihat pendidikan berkata,otak manusia secara konstan mencari art dan mencari pola-pola dan hubungan-kaitannya. Situasi pembelajaran asli meningkatkan kemampuan otak untuk membuat hubungan-hubungan dengan informasi baru. Santai, lingkungan yang tidak mengancam, yang mengurangi ketakutan para siswa dari kegagalan dianggap sebagian orang meningkatkan pembelajaran. Penelitian juga mendokumentasikan keluwesan otak,yaitu kemampuan otak untuk tumbuh dan beradaptasi dalam menanggapi rangsang luar.

Hal-hal itu dapat membantu kita menciptakan sekolah yang lebih selaras dengan bagaimana otak belajar secara efektif dan efisien sehingga kreativitas siswa dapat dikembangkan.
Pengembangan kreativitas pada anak dapat diintegrasikan dalam pembelajaran maupun dilaksanakan di luar pembelajaran. Klausmeier & Ripple (Daryanto, 2009: 153-155) menjelaskan asas-asas pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas dilakukan dengan cara:
1.      memberikan kesempatan siswa untuk berekspresi,
2.      keberhasilan yang dialami dalam usaha-usaha kreatif mendorong ekspresi kreatif yang tingkatnya lebih tinggi,
3.      berpikir dan bertingkah laku secara bebas dan meluas, dan
4.      menggunakan cara-cara untuk mengembangkan kreativitas.
Hal penting yang harus ditekankan untuk mengembangkan lingkungan kreatif adalah rasa nyaman, aman, dan kebebasan yang bertanggung jawab bagi anak. Sebagaimana yang dilaksanakan oleh Starcatchers untuk memfasilitasi kreativitas anak, mereka mengajak anak-anak berkontribusi dalam pertunjukan yang diadakan di kediaman beberapa artis. Di Indonesia sendiri, kegiatan seperti yang dilakukan Starcatchers masih sangat jarang.
Upaya memfasilitasi kreativitas siswa yang dilaksanakan di Indonesia adalah penerapan mata pelajaran Seni Budaya dan Kesenian. Mata pelajaran tersebut memfasilitasi siswa untuk menggambar, mewarnai, meronce, dll. Kegiatan tersebut dapat mengembangkan kreativias siswa. Namun, pelaksanaan mata pelajaran tersebut di sekolah kurang maksimal karena guru seringkali hanya meminta siswa menggambar dan mewarnai kemudian meninggalkan siswa (siswa tidak diberi pengarahan). Selain itu, kegiatan pada mata pelajaran tersebut juga monoton karena guru juga kurang kreatif dalam mendesain pembelajaran. Menurut pengakuan dari beberapa guru, mereka sering mengalami kebingungan untuk mengembangkan pembelajaran seni yang kreatif karena terbentur oleh waktu, media dan kemampuan dari diri guru sendiri. Oleh karena itu, guru hanya memberikan kegiatan menggambar dan mewarnai karena kegiatan tersebut mudah dilaksanakan. Itu berarti, guru masih merasa kesulitan memfasilitasi pembelajaran yang kreatif.
Menanggapi permasalahan tersebut, Penulis memberikan saran mengenai kegiatan sederhana yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kreativitas siswa di lingkungan sekolah baik dalam proses belajar maupun di lur pembelajaran dan lingkungan di luar sekolah yaitu melakukan permainan tradisional. Tentunya guru sudah cukup memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam permainan tradhisional. Permainan tradhisional ini juga tidak menghabiskan banyak waktu, alat-alat permainan mudah ditemukan dan ini tidak akan menyulitkan guru.
Permainan adalah kegiatan sukarela atau aktivitas spontan yang tidak memiliki tujuan  tertentu. Catherine Garvey (Mansur, 2009: 149) menyebutkan karakteristik permainan yaitu kegiatan yang menyenangkan, menggembirakan, tidak memiliki tujuan ekstrinsik, hal yang sukarela atau spontan, dan membutuhkan keterlibatan aktif dari para pemain. Dilihat dari karakteristik tersebut,  permainan akan menjadi kegiatan yang menyenangkan baik bagi siswa maupun guru sehingga tidak akan  ada pihak yang akan terbebani. Kegiatan tersebut juga bisa digunakan untuk melestarikan kebudayaan jika dilaksanakan dalam kegiatan permainan tradhisional. Permainan tradhisional umumnya dilakukan secara berkelompok, membutuhkan kegiatan fisik dan dapat memupuk berbagai nilai seperti kerja sama, keberanian dan sportivitas.
Permainan tradisional memiliki manfaat untuk membantu tumbuh kembang anak. Mansur (2009: 151) menjelaskan saat bermain, anak dapat berkeksperimen  tanpa gangguan sehingga dengan demikian akan membangun kemampuan yang kompleks. Permainan tradisional dari Indonesia contohnya congklak, betengan, gobak sodor, dll. Permainan-permainan tersebut sudah jarang dilakukan oleh anak-anak jaman sekarang. Anak-anak lebih sering bermain playstation, game online dan permainan modern lainnya. Permainan modern tersebut lebih mengedepankan kerja otak kiri sehingga otak kanan pada anak kurang digunakan. Selain itu, permainan modern juga membentuk anak-anak yang individualis dan kurang berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya. Apa akibat dari hal tersebut? Tentunya kreativitas siswa kurang berkembang karena stimulus yang diterima dendrit tidak banyak. Jika dendrit tidak menerima stimulus yang banyak maka hubungan antar syaraf akan lemah.
Permainan  tradhisional dapat dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah. Permainan inipun dapat dilakukan untuk beragam usia sehingga tidak menutup kemungkinan permainan ini dilakukan antara ayah, ibu, dan anak-anak mereka. Permainan tradhisional umumnya hanya membutuhkan beberapa alat dan alat-alat tersebut sangat mudah untuk dibuat. Permainan tersebut juga bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja sehingga tidak terbatas pada ruang dan waktu. Itu berarti, pengembangan kreativitas ini dapat dilakukan dengan orang-orang yang dekat dengan anak sehingga tercipta suasana akrab. Suasana akrab tersebut dapat merangsang kreativitas siswa. Sesuai penjelasan Catherine Garvey mengenai karakteristik permainan yang telah dijelaskan di atas maka permainan tradhisional merupakan salah satu metode sederhana yang bisa digunakan untukmengembangkan kreativitas siswa
Ada beberapa alasan kuat mengapa permainan tradhisional dapat meningkatkan kreativitas siswa. Pertama, bermain merupakan kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan sehingga anak tidak merasa tertekan. Suasana yang menyenangkan dapat memfasilitasi perkembangan kreativitas anak. Kedua, permainan tidak memiliki tujuan ekstrinsik, namun bukan berarti tidak memiliki makna. Pada dasarnya langkah-langkah yang ada pada permainan tradhisional membutuhkan ide kreatif agar anak dapat memenangkan permainan. Keberhasilan yang dialami dalam usaha-usaha kreatif mendorong ekspresi kreatif yang tingkatnya lebih tinggi. Ketiga, aturan-aturan yang ada dalam permainan tradhisional dapat dimodifikasi sesuai dengan kesepakatan para pemain. Hal itu membuat anak dapat berpikir, bereksperimen dan bertingkah laku secara bebas dan meluas. Kegiatan tersebut juga dapat menunmbuhkan keterampilan dan nilai-nilai yang kompleks. Keempat, permainan tradhisional membutuhkan energy fisik dan kecerdasan baik otak kiri maupun otak kanan.ini membuat, waktu siswa dihabiskan dengan bermanfaat sehingga adanya kegiatan-kegiatan negatif yang terjadi pada anak-anak dapat diminimalisisr. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan jika permainan tradhisional dapat mengembangkan kreativitas siswa.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kreativitas tidak semata-mata diperoleh berdasarkan faktor keturunan namun dipengaruhi oleh stimulus. Stimulus dapat diterima jika anak melakukan berbaggai kegiatan contohnya permainan tradhisional. Permainan ini  sudah mulai ditnggalkan karena kebanyakan anak menghabiskan waktunya dengan permainan modern. Padahal permainan modern umunya kurang mengembangkan kemampuan otak kanan.
Permainan tradhisional dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Permainan ini dapat diintegrasikan dalam pembelajaran atau dilakukan di luar sekolah. Keluarga sebagai orang terdekat bagi anak juga dapat melakukan kegiatan ini karena sangat sederhana. Oleh karena itu, penerapan permainan tradhisional sangat disarankan sebagai salah satu cara sederhana untuk mengembangkan kreativitas siswa.

B.     Saran
Keluarga sebagai orang terdekat bagi anak hendaknya memfasilitasi pekembangan kreativitas anak. Dengan memfasilutasi perkembangan kreativitas anak, sama artinya dengan melatih anak untuk menyelesaikan permasalahan hidup dan bersaing secara global.
DAFTAR PUSTAKA

Daryanto. (2009). Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif. Jakarta: AV Publisher.

Grogan, Deirdre & Joan Martlew . (2014).  Exploring Creative Environments through the Child’s Lens. Creative Education, 5, 1528-1539.

Kompas. (2001). Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif.  Jakarta: Kompas.

Made Wena. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Mansur. (2009). Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR

Mantra Kaudfeldt. (2008). Wahai Para Guru, Ubahlah Cara Mengajarmu: Perintah Pengajaran yang Berbeda-beda dan Sesuai Dengan Otak. Jakarta: PT Macanan Jaya Cemerlang.

Rismawati. (2012). Menstimulasi Perkembangan Otak dengan Permainan (Untuk Anak Usia 0-12 Tahun). Yogyakarta: PT Pustaka Insani Madani.

Schunk, D.H. (2012). Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sue Cowley. (2010). Panduan Manajemen Perilaku Siswa. Jakarta : Erlangga.