STUDI
TANTANGAN TATA KELOLA PENDIDIKAN DALAM SITUASI FRAGILE
Michael
A. Ratcliffe
A.
Resume
Jurnal
Aceh atau yang sekarang
sering disebut Nanggroe Aceh Darussalam adalah provinsi yang terletak di ujung
barat Indonesia. Provinsi tersebut merupakan provinsi yang sangat rawan terkena
gempa bahkan pada tahun 2004, gempa yang sangat kuat mengguncang Aceh sehingga
menyebabkan terjadinya tsunami. Terjadinya tsunami ini menyebabkan penghentian
sementara pada layanan pendidikan karena hilangnya puluhan ribu murid dan
kurang lebih 2.500 guru.
Selain kawasan rawan
bencana, Aceh juga merupakan daerah rawan konflik. Adanya keinginan untuk
memisahkan diri dari pemerintahan Indonesia (separatisme) membuat kawasan ini
selama perode 1976-2005, sering terjadi peperangan. Gerakan separatisme ini
disebut dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). GAM dilatarbelakangi oleh klaim atas
sumber daya oleh pemerintah dan kemiskinan yang terus-menerus.
Gerekan ini terus
berlanjut hingga menyebabkan kerusakan di beberapa infrastrukur karena pembakaran
sekolah dan fasilitas publik lainya. Selain pengrusakan fasilitas publik,
konflik ini juga menyebabkan banyaknya guru yang diserang oleh pejuang GAM dan sekolah digunakan
sebagai kamp militer sehingga ada banyak tantangan dalam pelayanan di dunia
pendidikan bagi masyarakat Aceh.
Menghadapi berbagai
permasalahan tersebut, pemerintah Aceh terus berupaya untuk konsisten dalam
penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan di Aceh menyesuaikan sistem
pendidikan di Indonesia. Dari tahun ke tahun, pendidikan terus mengalami
peningkatan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Ini membuktikan bahwa
pendidikan di Aceh sudah tangguh karena dapat bertahan atas berbagai konflik dan
bencana yang terjadi. Tentunya ketahanan ini dapat terjadi karena ada upaya-upaya
dari berbagai pihak. Berikut ini analisis faktor yang mempengaruhi sektor ketahanan
Aceh dalam bidang pendidikan dari periode konflik, rekonstruksi, sampai pasca
konflik dan pasca Tsunami.
1. Sumber
ketahanan pendidikan periode konflik
Sumber
ketahanan ini meliputi kepemimpinan yang kuat dari kepala sekolah dan komite untuk menjaga sekolah
terbuka, kemauan orang tua, siswa dan guru
untuk menyelenggarakan sekolah walau keadaan yang tidak sesuai (misalnya
tenda), dan mobilisasi masyarakat serta dukungan dana untuk mengembalikan infrastruktur sekolah (misalnya dukungan UNICEF / NGO).
2. Sumber ketahanan pendidikan periode
rekonstruksi
Sumber
ketahan ini meliputi penghentian permusuhan pada 1999/2003 dan tata kelola
administrasi atau ekonomi membaik, sumber daya tambahan yang signifikan untuk
pendidikan ketika undang-undang otonomi khusus Aceh diperkenalkan pada
tahun 2001, program perlindungan sosial dari pemerintah
pusat dalam menanggapi krisis keuangan 1997 dan
pengenalan serangkaian undang-undang desentralisasi sebagai bagian dari penguatan
kekuasaan pemerintah lokal di tingkat provinsi dan kabupaten.
3. Sumber ketahanan pendidikan pasca
konflik dan pasca tsunami
Sumber
ketahanan ini meliputi penghentian permusuhan dan penandatanganan Perdamaian Accord Helsinki pada
tahun 2005 dan penarikan pasukan militer oleh pemerintah pusat, pertumbuhan
pendapatan pusat dan provinsi, termasuk 30% untuk pendidikan, pelaksanaan
kebijakan desentralisasi, pelaksanaan undang-undang otonomi khusus , pengenalan kebijakan pendidikan baru (pro-poor)
dan pendanaan, terutama gerakan untuk membebaskan biaya pendidikan dasar dengan
penyediaan anggaran operasional sekolah , dan langkah-langkah kebijakan nasional tambahan untuk memberikan
insentif guru untuk upgrade profesional dan penyebaran ke sekolah-sekolah
terpencil. Faktor
lain yang membantu sistem ketahanan adalah tata kelola sektor yaitu perumusan
pertama Rencana Strategis Pendidikan Aceh (NADESP) pada tahun 2007,
sebagai respon pasca konflik dan perencanaan pasca-tsunami, yang dipimpin oleh
Kantor Gubernur.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan ada kemauan politik yang kuat untuk
reformasi pendidikan, dibuktikan dengan peningkatan yang signifikan dalam
sumber daya publik untuk pendidikan yang
disetujui oleh parlemen nasional dan lokal.
Ketahanan Aceh terhadap konflik dan bencana, hendaknya dapat
dijadikan sebagai contoh untuk kawasan lain sehingga jika terjadi konflik di
masyarakat, pendidikan rakyatnya tidak terbengkalai. Berdasarkan kasus Aceh,
kita dapat mengambil pelajaran bagaimana mempertahankan wilayah saat terjadi
konflik. Salah satu contoh yang dapat dipelajari adalah bahwa pengaturan BRR untuk pengelolaan rekonstruksi
pasca-tsunami merupakan model praktik yang baik. Demikian pula, proses dan
hasil dari proses Aceh ESP mungkin merupakan contoh lain dari praktik yang baik
pasca konflik atau perencanaan darurat sektor transisi. Faktor kunci keberhasilan
dalam kedua kasus adalah legitimasi dan otoritas kepemimpinan proses, melalui kantor
gubernur dan akuntabel parlemen, kabupaten dewan penasehat pendidikan
Selain itu, temuan utama dari program Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) yang diperkenalkan pada tahun 2005 merupakan program
jaring pengaman sosial bagi siswa miskin untuk bersekolah, yang diperlukan
pasca krisis keuangan 1997 di Aceh. Selanjutnya, sebagai bagian dari akses yang
berpihak pada masyarakat miskin, program ini diubah pada tahun 2005, dengan
dana yang disalurkan langsung ke sekolah sebagai pembayaran transfer tunai
bersyarat kepada rumah tangga. Temuan utama dari program ini adalah berhasil
dalam membuat orang tua bertanggung jawab untuk kehadiran di sekolah, membantu
merangsang sekolah / orang tua terhadap pertanggungjawaban penggunaan dana,
mempromosikan transparansi dalam pendanaan sekolah formula dan menyediakan
insentif untuk informasi pendaftaran sekolah atau kabupaten mengalir.
B.
Pembahasan
Mansur (2009: 84-85)
menjelaskan pendidikan adalah perbuatan atau usaha generasi tua untuk
mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta
keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar
dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmani maupun rohani. Berdasarkan
pendapat tersebut, maka dapat dipahami bahwa pendidikan adalah agen sangat
penting untuk meneruskan maupun mengubah peradaban sehingga dalam kondisi
apapun, pendidikan harus terus berjalan.
Pendidikan di Aceh
telah mengalami berbagai kondisi dalam menghadapi konflik dan bencana. Konflik
yang dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memerdekakan wilayahnya
menyebabkan rezim Soeharto memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM). Menurut
Forum NGO (INIS dan PBB, 2003: 66) di Aceh, aksi militer tersebut menyebabkan
adanya 15 kuburan missal yang diperkirakan berisi 1240 kerangka manusia. Itu
menunjukkan Aceh mengalami kekejaman militer yang luar biasa. Kekejaman
tersebut juga mengakibatkan kegiatan belajar mengajar sering diliburkan karena sekolahn
dijadikan tempat bersembunyi oleh anggota GAM. Tidak cukup sampai disitu,
adanya tsunami pada tahun 2004 juga menyebabkan bangunan sekolah hilang dan hilangnya
puluhan ribu murid serta kurang lebih 2.500 guru.
Awalnya, pendidikan Aceh dikatan memiliki ketangguhan dalam
menghadapi bencana dan konflik. Itu dibuktikan dengan berbagai peraturan
pemerintah salah satunya mengenai tata kelola sektor yaitu perumusan pertama
Rencana Strategis Pendidikan Aceh (NADESP) pada tahun 2007,
sebagai respon pasca konflik dan perencanaan pasca-tsunami, yang dipimpin oleh
Kantor Gubernur.
Namun, satu dekade pasca tsunami dan setelah upaya perdamaian yang dilakukan oleh
pemerintahan SBY-JK, pendidikan Aceh masih memprihatinkan.
Sepuluh tahun
pasca-tsunami, Kepala dinas pendidikan Aceh Anas M. Adam menjelaskan bahwa kondisi
pendidikan Aceh saat ini masih sangat memprihatinkan Penyebab utamanya adalah
kualitas guru yang mengajar tidak cukup memadai. Rendahnya kualitas guru di
Aceh setidaknya terlihat dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) secara nasional
beberapa waktu lalu, dimana Aceh menempati posisi ke 29 sehingga pada tahun
2014 ini pemerintah Aceh melalui dinas pendidikan akan fokus pada perbaikan
mutu guru (http://m.kompasiana.com/post/read/690080/1/literasi-untuk-edukasi-bencana.html).
Ini menunjukkan bahwa ketahanan pendidikan Aceh dalam menghadapi konflik
dan bencana belum kuat. Ketahanan pendidikan
suatu daerah untuk menghadapi konflik dan bencana sangat dipengaruhi oleh
kebijakan pendidikannya.
H. A. R. Tilaar dan
Riant Nugroho (2008: 140) menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan merupakan
keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan
yang dijabarkan dari visi,misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan
tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu
tertentu. Visi mencakup rumusan-rumusan umum yang abstrak, sedangkan misi
pendidikan lebih terarah pada kegiatan-kegiatn konkret untu mencapai tujuan.
Sebagai salah satu kawasan yang rawan gempa, pemerintah Aceh belum
memberlakukan kebijakan untuk mengantisipasi adanya bencana alam tersebut. Hal
itu dapat dilihat dari banyaknya jumlah korban bencana Aceh yang disebabkan
oleh kekurangsiapan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Sebagai contoh, bila kita bandingkan gempa yang melanda Aceh
pada Desember 2004 dan gempa yang melanda Jepang pada Maret 2011. Kedua gempa
ini terjadi dalam kurun waktu yang relatif berdekatan yakni hanya berjarak 6
tahun dengan skala richter yang tidak jauh berbeda (Aceh 9,3 SR, Jepang 8,9
SR), namun memiliki jumlah korban yang bertaut cukup signfikan. Gempa dan
tsunami Aceh menelan korban lebih dari 300 ribu jiwa, sedang gempa dan tsunami
Jepang menelan korban sekitar 10 ribu jiwa (http://m.kompasiana.com/post/read/690080/1/literasi-untuk-edukasi
bencana.html).
Perbedaan
jumlah korban di atas antara lain disebabkan oleh kesiapan masyarakat
masing-masing negara terhadap bencana yang mengancam kapan saja. Masyarakat
Jepang cenderung lebih siap. Tidak hanya ketika bencana terjadi, namun juga
ketika berusaha bangkit dan menata hidup kembali paska bencana. Pemerintah
Jepang menyadari kondisi rawan bencana alam di wilayahnya sehingga membuat
kebijakan pendidikan untuk melatih siswa-siswwanya tanggap bencana.
Di sisi lain, banyaknya
korban pada tsunami Aceh membuktikan kebijakan pendidikan disana kurang cepat
dalam menghadapi masalah sebagaimana kebijakan yang diberlakukan di Jepang.
Jepang, daerah yang pernah mengalami peperangan dan rawan bencana memiliki
ketahanan yang baik dalam menghadapi
berbagai situasi. Berikut ini mari kita cermati kebijakan pendidikan di Jepang.
1.
Belajar
dari Jepang
Jepang merupakan salah
satu negara yang memiliki permasalahan hampir mirip dengan Aceh, yaitu daerah yang
rawan bencana seperti tsunami, banjir, angin puting beliung, gempa bumi sampai
gunung meletus (http://economy.okezone.com/read/2014/08/13/213/1023924/jepang-negara-maju-yang-langganan-bencana-alam).
Selain itu, Jepang juga pernah mengalami masa-masa berat akibat kekalahan pada
saat Perang Dunia (PD) II. Kekalahan ini ditandai dengan hancurnya daerah
Hiroshima dan Nagasaki. Tidak hanya dari kerusakan bangunan, bom yang
dilancarkan oleh pihak sekutu juga menyebabkan hilangnya ribuan nyawa. Namun,
Jepang langsung berusaha bangkit menghadapi kehancuran tersebut dengan
menerapkan pendekatan pembangunan menuju kejayaan Jepang kembali dengan
memprioritaskan pendidikan (Kusnandar, 2011: 8).
Pendidikan untuk
membangun maupun mengubah masyarakat bukanlah hal yang baru. Aristoteles,
Rosseau dan Dewey merupakan tokoh-tokoh yang memandang pendidikan sebagai alat
untuk bertransformasi (William K. Cummings, 1984: 4). Jepang melakukan
pembaharuan dalam bidang pendidikan secara intensif sehingga masyarakat di
negara tersebut menjadi sangat egalitarian. Berikut ini ciri-ciri pendidikan
Jepang setelah Perang Dunia II (William K. Cummings, 1984: 6).
a. Perhatian
pada pendidikan dari berbagai pihak
Orang tua dan guru
bekerja sama untuk menyelenggarakan pendidikan yang humanitas dan memberi
kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan dirinya. Orang tua menyadari akan
pentingnya pendidikan sehingga mereka menyediakan waktu dan tenaga agar
anak-anaknya sukses dalam pendidikan. Selain itu, masyarakat umum juga
menyadari akan pentingnya pendidikan dan konsekuensi dari pendidikan itu
sendiri.
b. Sekolah
Jepang tidak mahal
Siswa dan guru bekerja
sama melakukan pekerjaan sekolah sehingga sekolah tidak membutuhkan karyawan.
Kebersihan sekolah, menghidangkan makanan siang, dan mengurus fasilitas sekolah
merupakan tanggung jawab siswa. Hal itu menyebabkan biaya yang seharusnya dikeluarkan
untuk menggaji karyawan bisa dialokasikan untuk keperluan gedung.
c. Tidak
ada diskriminasi terhadap sekolah
Pemerintah mengeluarkan
berbagai peraturan agar terjadi pemerataan pendidikan baik di kota maupun di
desa. Bahkan pemerintah juga memberikan subsidi makan siang untuk siswa dari
keluarga miskin, subsidi untuk siswa-siswa di pulau kecil agar dapat naik
perahu ke daratan, insentif untuk guru yang bekerja di daerah terpencil, dan dana tambahan untuk
sekolah yang menerima anak-anak dari golongan “outcaste”.
d. Kurikulum
sekolah sangat berat
Ada berbagai mata
pelajaran yang diajarkan sejak kelas satu sekolah dasar. Jumlah jam mata
pelajaran untuk kesenian, music dan olahraga lebih banyak daripada di Amerika
sehingga siswa bersekolah selama 240 hari selama satu tahun agar kurikulum yang
berat itu dapat dipenuhi.
e. Sekolah
sebagai unit pendidikan
Guru-guru membuat
kebijakan untuk mewujudkan program sekolah yang terpadu. Mereka juga merancang
berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan. Setelah itu, secara periodik guru
mengevaluasi kemajuan sekolah. Guru-guru juga mengevaluasi kegiatan siswa di
luar pembelajaran kelas seperti kegiatan siswa berkumpul di pagi hari sampai
kegiatan perkumpulan sekolah. Guru dari kelas lain juga memiliki tanggung jawab
untuk menegur siswa kelas lain jika berkelakuan tidak baik sehingga sekolah
merupakan unit pendidikan.
f. Guru
terjamin tidak akan kehilangan jabatan
Guru sebagai abdi
masyarakat memiliki hak atas jabatannya sejak diangkat asal tidak melakukan
tindakan yang luar biasa (dalam hal negatif). Perserikatan guru (Nikkyoso) memperjuangkan hak guru atas
pekerjaanya. Guru di Jepang memiliki hak untuk menyatakan keberatan atas
tuntutan yang berlebihan dari pihak pemerintah. Mereka juga cukup kuat
mengahadapi tekanan dari pihak orangtua yang memiliki kekuasaan. Keselamatan jabatan
juga memungkinkan para guru melakukan tugasnya tanpa adanya tekanan dan
pengaruh yang berlebihan dari pihak lain.
g. Guru
Jepang penuh dedikasi
Guru menyediakan banyak
waktu untuk membicarakan masalah pengajaran pada waktu pagi, pertemuan seminggu
sekali serta pertemuan penelitian dua minggu sekali. Guru juga mengunjungi
rumah siswa untuk berkomunikasi dengan orang tua siswa. Selain itu, setiap
sebulan sekali orang tua siswa diundang ke sekolah untuk melihat kemajuan
anaknya. Itu menunjukkan guru-guru di Jepang berdedikasi tinggi.
h. Guru
merasa wajib memberi pendidikan “orang seutuhnya”
Guru menyadari bahwa
kewajiban utamanya tidak hanya sekkedar membentuk siswa yang cerdas namun
mengembangkan “orang seutuhnya”. Guru berusaha memberikan pendidikan moral
berupa nilai-nilai persahabatan, keramah-tamahan, kerjasama dan disiplin
i.
Guru bersikap adil
Guru berusaha
menciptakan pembelajaran yang aktif dan jarang menunjukkan perasaan sayang yang
berlebih-lebihan kepada siswa terpandai dan tidak mencela siswa yang lemah.
Mereka melakukan berbagai usahauntuk membimbing siswa menyelesaikan kurikulum
dalam waktu yang telah ditentukan.
Selain dari sistem
pendidikan, dalam konteks kesiagaan terhadap bencana, masyarakat Jepang
memiliki tingkat literasi yang tinggi. Ini menyebabkan masyarakat memiliki
ketangguhan dan kesiagaan yang tinggi terhadap bencana. Potensi bencana yang
sangat besar membuat mereka terus belajar dan berbenah diri. Bersama kemajuan
ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologinya, Jepang membangun masyarakatnya
menjadi masyarakat yang tangguh dan siaga bencana. Salah satunya dilakukan
melalui literasi (http://m.kompasiana.com/post/read/690080/1/literasi-untuk-edukasi-bencana.html).
literasi merupakan salah satu senjata utama untuk membangun
masyarakat yang maju, tangguh dan bersahabat dengan alam bahkan bencana. Inilah
tantangan besar Indonesia saat ini, bagaimana mendongkrak tingkat literasi
masyarakat yang masih rendah dan jauh tertinggal. Namun
demikian, upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang dalam menghadapi
konflik dan bencana, tidak serta-merta kita adopsi, namun harus dicocokkan
dengan variabel-variabel sosiologis, antropologis dan politis di Aceh.
2.
Menuju
Pendidikan yang Lebih Baik
Berdasarkan penjelasan
di atas, maka ujung tombak reformasi pendidikan di Jepang adalah guru. Selama
masa Pemerintahan Pendudukan (Amerika), perserikatan guru (Nikkyoso) terus berupaya untuk memperbaiki sistem pendidikan
walaupun upaya tersebut dapat menyebabkan guru di penjara. Itu menunjukkan
bahwa kualitas guru di Jepang sudah professional. Sebaliknya, profesionalisme
guru-guru di Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya masih rendah
sehingga ketika menghadapi konflik dan bencana membutuhkan waktu yang lama
untuk bangkit. Selain itu, meningkatkan literasi masyarakat merupakan salah
satu kekuatan Jepang untuk menghadapi berbagai situasi. Oleh karena itu,
meningkatkan kualitas guru dan meningkatkan literasi masyarakat merupakan usaha
yang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan.
C.
Penutup
1.
Kesimpulan
Berdasarkan dari resume
dan pembahasan jurnal tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah
Aceh sudah melakukan berbagai cara untuk mempertahakan pendidikan selama masa
konflik, rekonstruksi, dan pasca-konflik serta pasca-tsunami. Namun satu dekade
setelah peristiwa tsunami dan saat peperangan telah berhenti, kondisi
pendidikan di Aceh masih memprihatinkan. Ini menunjukkan bahwa ketahanan
pendidikan Aceh dalam menghadapi konflik dan bencana belum kuat. Oleh karena
itu, pemerintah perlu belajar mengenai kebijakan pendidikan di Jyang telah
terbukti ketangguhannya dalam menghadapi konflik dan bencana. Melalui
peningkatan profesionalisme guru dan meningkatkan literasi
masyarakat,diharapkan, pendidikan di Indonesia pada umumnya,dan Aceh pada
khususnya dapat tangguh menghadapi konflik dan bencana.
2.
Saran
Guru merupakan ujung
tombak dalam pendidikan. Jika dianalogikan dalam peperangan, guru adalah
prajuritnya. Sehebat apapun strategi perang yang direncanakan, jika prajuritnya
menyerah bahkan kabur maka akan mengalami peperangan. Sebagus apapun kebijakan
pendidikan, jika guru tidak mau berusaha memenuhi kompetensi profesinya, maka
mutu pendidikan akan rendah. Oleh karena itu, Penulis berharap guru dapat
berjuang dan bertahan dalam kondisi apapun dalam meningkatkan kualitas
pendidikan.
Daftar
Pustaka
INIS
dan PBB. (2003). Konflik Komunal
diIndonesia Saat Ini. Jakarta: INIS.
Kusnandar.
(2011). Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Press.
Mansur.
(2009). Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
William
K. Cummings. (1984). Pendidikan dan
Kualitas Manuusia di Jepang. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
(Terjemahan)
H.
A. R. Tilaar dan Riant Nugroho. (2008). Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR.
http://economy.okezone.com/read/2014/08/13/213/1023924/jepang-negara-maju-yang-langganan-bencana-alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar