Kamis, 29 September 2016

STUDI TANTANGAN TATA KELOLA PENDIDIKAN DALAM SITUASI FRAGILE
Michael A. Ratcliffe, study team leader and designated consultant for the Aceh case studyRatcliffe

A.    Resume Jurnal
Aceh atau yang sekarang sering disebut Nanggroe Aceh Darussalam adalah provinsi yang terletak di ujung barat Indonesia. Provinsi tersebut merupakan provinsi yang sangat rawan terkena gempa bahkan pada tahun 2004, gempa yang sangat kuat mengguncang Aceh sehingga menyebabkan terjadinya tsunami. Terjadinya tsunami ini menyebabkan penghentian sementara pada layanan pendidikan karena hilangnya puluhan ribu murid dan kurang lebih 2.500 guru.
Selain kawasan rawan bencana, Aceh juga merupakan daerah rawan konflik. Adanya keinginan untuk memisahkan diri dari pemerintahan Indonesia (separatisme) membuat kawasan ini selama perode 1976-2005, sering terjadi peperangan. Gerakan separatisme ini disebut dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). GAM dilatarbelakangi oleh klaim atas sumber daya oleh pemerintah dan kemiskinan yang terus-menerus.
Gerekan ini terus berlanjut hingga menyebabkan kerusakan di beberapa infrastrukur karena pembakaran sekolah dan fasilitas publik lainya. Selain pengrusakan fasilitas publik, konflik ini juga menyebabkan banyaknya guru yang diserang oleh pejuang GAM dan sekolah digunakan sebagai kamp militer sehingga ada banyak tantangan dalam pelayanan di dunia pendidikan bagi masyarakat Aceh.
Menghadapi berbagai permasalahan tersebut, pemerintah Aceh terus berupaya untuk konsisten dalam penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan di Aceh menyesuaikan sistem pendidikan di Indonesia. Dari tahun ke tahun, pendidikan terus mengalami peningkatan baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Ini membuktikan bahwa pendidikan di Aceh sudah tangguh karena dapat bertahan atas berbagai konflik dan bencana yang terjadi. Tentunya ketahanan ini dapat terjadi karena ada upaya-upaya dari berbagai pihak. Berikut ini analisis faktor yang mempengaruhi sektor ketahanan Aceh dalam bidang pendidikan dari periode konflik, rekonstruksi, sampai pasca konflik dan pasca Tsunami.
1.      The reported sources of resilience included i) robust leadership by school principals and committeesSumber ketahanan pendidikan periode konflik
Sumber ketahanan ini meliputi kepemimpinan yang kuat dari kepala sekolah dan komite to keep schools untuk menjaga sekolah terbuka, ii) willingness of parents, students and teachers to attend school kemauan orang tua, siswa dan guru untuk menyelenggarakan sekolah walau keadaan yang tidak sesuai (misalnya tenda), and iii) community and donor mobilisation of fudan mobilisasi masyarakat serta dukungan dana untuk mengembalikan school infrastructure (eg UNICEF/NGO support). infrastruktur sekolah (misalnya dukungan UNICEF / NGO).
2.      Sumber ketahanan pendidikan periode rekonstruksi
Sumber ketahan ini meliputi penghentian permusuhan pada 1999/2003 dan tata kelola administrasi atau ekonomi membaik, sumber daya tambahan yang signifikan untuk pendidikan ketika undang-undang otonomi khusus autonomy law was introduced in 200Aceh diperkenalkan pada tahun 2001, iii) central Government maintaining social protectiprogram perlindungan sosial dari pemerintah pusat programmes over this period, in response to 1997 financial crisdalam menanggapi krisis keuangan 1997 and iv) introduction of a series ofdan pengenalan serangkaian decentralisation legislation/regulations, as part of strengthening the powers of local government undang-undang desentralisasi sebagai bagian dari penguatan kekuasaan pemerintah lokal di provincial and district levels and maintaining fiscal balance between central and local governmenttingkat provinsi dan kabupaten. These measures began to provide a framework for mediumterm development planning, furth
3.      Sumber ketahanan pendidikan pasca konflik dan pasca tsunami
Sumber ketahanan ini meliputi penghentian hostilities and signing of the Helsinki Peace Accord in 2005 and withdrawal of central governmenpermusuhan dan penandatanganan Perdamaian Accord Helsinki pada tahun 2005 dan penarikan pasukan militer oleh pemerintah pusat, pertumbuhan pendapatan pusat dan provinsi, termasuk 30% untuk pendidikan, pelaksanaan kebijakan desentralisasi, pelaksanaan undang-undang otonomi khususautonomy law, allowing significant retention of revenues;, pengenalan kebijakan pendidikan baru (pro-poor) policies and financing, especially a movement to free basic education by provision of scho dan pendanaan, terutama gerakan untuk membebaskan biaya pendidikan dasar dengan penyediaan anggaran operasional sekolahoperating budgets;, dan langkah-langkah kebijakan nasional tambahan untuk memberikan insentif guru untuk professional upgrading and deployment to remote schoolsupgrade profesional dan penyebaran ke sekolah-sekolah terpencil. Other factors that assisted system resilience included i) significant increases in centrally providedFaktor lain yang membantu sistem ketahanan adalah tata kelola sektor yaitu perumusan pertama Rencana Strategis Pendidikan Plan (NADESP) in 2007, as a postconflict and posttsunami planning response, led by the Office oAceh (NADESP) pada tahun 2007, sebagai respon pasca konflik dan perencanaan pasca-tsunami, yang dipimpin oleh Kantor the GovernorGubernur.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan ada kemauan politik yang kuat untuk reformasi pendidikan, dibuktikan dengan peningkatan yang signifikan dalam sumber daya publik  untuk pendidikan yang disetujui oleh parlemen nasional dan lokal.
Ketahanan Aceh terhadap konflik dan bencana, hendaknya dapat dijadikan sebagai contoh untuk kawasan lain sehingga jika terjadi konflik di masyarakat, pendidikan rakyatnya tidak terbengkalai. Berdasarkan kasus Aceh, kita dapat mengambil pelajaran bagaimana mempertahankan wilayah saat terjadi konflik. Salah satu contoh yang dapat dipelajari  adalah bahwa pengaturan BRR untuk pengelolaan rekonstruksi pasca-tsunami merupakan model praktik yang baik. Demikian pula, proses dan hasil dari proses Aceh ESP mungkin merupakan contoh lain dari praktik yang baik pasca konflik atau perencanaan darurat sektor transisi. Faktor kunci keberhasilan dalam kedua kasus adalah legitimasi dan otoritas kepemimpinan proses, melalui kantor gubernur dan akuntabel parlemen, kabupaten dewan penasehat pendidikan
Selain itu, temuan utama dari program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diperkenalkan pada tahun 2005 merupakan program jaring pengaman sosial bagi siswa miskin untuk bersekolah, yang diperlukan pasca krisis keuangan 1997 di Aceh. Selanjutnya, sebagai bagian dari akses yang berpihak pada masyarakat miskin, program ini diubah pada tahun 2005, dengan dana yang disalurkan langsung ke sekolah sebagai pembayaran transfer tunai bersyarat kepada rumah tangga. Temuan utama dari program ini adalah berhasil dalam membuat orang tua bertanggung jawab untuk kehadiran di sekolah, membantu merangsang sekolah / orang tua terhadap pertanggungjawaban penggunaan dana, mempromosikan transparansi dalam pendanaan sekolah formula dan menyediakan insentif untuk informasi pendaftaran sekolah atau kabupaten mengalir.

B.     Pembahasan
Mansur (2009: 84-85) menjelaskan pendidikan adalah perbuatan atau usaha generasi tua untuk mengalihkan (melimpahkan) pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmani maupun rohani. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat dipahami bahwa pendidikan adalah agen sangat penting untuk meneruskan maupun mengubah peradaban sehingga dalam kondisi apapun, pendidikan harus terus berjalan. 
Pendidikan di Aceh telah mengalami berbagai kondisi dalam menghadapi konflik dan bencana. Konflik yang dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memerdekakan wilayahnya menyebabkan rezim Soeharto memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM). Menurut Forum NGO (INIS dan PBB, 2003: 66) di Aceh, aksi militer tersebut menyebabkan adanya 15 kuburan missal yang diperkirakan berisi 1240 kerangka manusia. Itu menunjukkan Aceh mengalami kekejaman militer yang luar biasa. Kekejaman tersebut juga mengakibatkan kegiatan belajar mengajar sering diliburkan karena sekolahn dijadikan tempat bersembunyi oleh anggota GAM. Tidak cukup sampai disitu, adanya tsunami pada tahun 2004 juga menyebabkan bangunan sekolah hilang dan hilangnya puluhan ribu murid serta kurang lebih 2.500 guru.
Awalnya, pendidikan Aceh dikatan memiliki ketangguhan dalam menghadapi bencana dan konflik. Itu dibuktikan dengan berbagai peraturan pemerintah salah satunya mengenai tata kelola sektor yaitu perumusan pertama Rencana Strategis Pendidikan Plan (NADESP) in 2007, as a postconflict and posttsunami planning response, led by the Office oAceh (NADESP) pada tahun 2007, sebagai respon pasca konflik dan perencanaan pasca-tsunami, yang dipimpin oleh Kantor the GovernorGubernur. Namun, satu dekade pasca tsunami dan setelah upaya perdamaian yang dilakukan oleh pemerintahan SBY-JK, pendidikan Aceh masih memprihatinkan.
Sepuluh tahun pasca-tsunami, Kepala dinas pendidikan Aceh Anas M. Adam menjelaskan bahwa kondisi pendidikan Aceh saat ini masih sangat memprihatinkan Penyebab utamanya adalah kualitas guru yang mengajar tidak cukup memadai. Rendahnya kualitas guru di Aceh setidaknya terlihat dari hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) secara nasional beberapa waktu lalu, dimana Aceh menempati posisi ke 29 sehingga pada tahun 2014 ini pemerintah Aceh melalui dinas pendidikan akan fokus pada perbaikan mutu guru (http://m.kompasiana.com/post/read/690080/1/literasi-untuk-edukasi-bencana.html). Ini menunjukkan bahwa ketahanan pendidikan Aceh dalam menghadapi konflik dan  bencana belum kuat. Ketahanan pendidikan suatu daerah untuk menghadapi konflik dan bencana sangat dipengaruhi oleh kebijakan pendidikannya.
H. A. R. Tilaar dan Riant Nugroho (2008: 140) menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan merupakan keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi,misi pendidikan, dalam rangka untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat untuk suatu kurun waktu tertentu. Visi mencakup rumusan-rumusan umum yang abstrak, sedangkan misi pendidikan lebih terarah pada kegiatan-kegiatn konkret untu mencapai tujuan. Sebagai salah satu kawasan yang rawan gempa, pemerintah Aceh belum memberlakukan kebijakan untuk mengantisipasi adanya bencana alam tersebut. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya jumlah korban bencana Aceh yang disebabkan oleh kekurangsiapan masyarakat dalam menghadapi bencana.

Sebagai contoh, bila kita bandingkan gempa yang melanda Aceh pada Desember 2004 dan gempa yang melanda Jepang pada Maret 2011. Kedua gempa ini terjadi dalam kurun waktu yang relatif berdekatan yakni hanya berjarak 6 tahun dengan skala richter yang tidak jauh berbeda (Aceh 9,3 SR, Jepang 8,9 SR), namun memiliki jumlah korban yang bertaut cukup signfikan. Gempa dan tsunami Aceh menelan korban lebih dari 300 ribu jiwa, sedang gempa dan tsunami Jepang menelan korban sekitar 10 ribu jiwa (http://m.kompasiana.com/post/read/690080/1/literasi-untuk-edukasi bencana.html).

Perbedaan jumlah korban di atas antara lain disebabkan oleh kesiapan masyarakat masing-masing negara terhadap bencana yang mengancam kapan saja. Masyarakat Jepang cenderung lebih siap. Tidak hanya ketika bencana terjadi, namun juga ketika berusaha bangkit dan menata hidup kembali paska bencana. Pemerintah Jepang menyadari kondisi rawan bencana alam di wilayahnya sehingga membuat kebijakan pendidikan untuk melatih siswa-siswwanya tanggap bencana.
Di sisi lain, banyaknya korban pada tsunami Aceh membuktikan kebijakan pendidikan disana kurang cepat dalam menghadapi masalah sebagaimana kebijakan yang diberlakukan di Jepang. Jepang, daerah yang pernah mengalami peperangan dan rawan bencana memiliki ketahanan yang baik dalam  menghadapi berbagai situasi. Berikut ini mari kita cermati kebijakan pendidikan di Jepang.
1.      Belajar dari Jepang
Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki permasalahan hampir mirip dengan Aceh, yaitu daerah yang rawan bencana seperti tsunami, banjir, angin puting beliung, gempa bumi sampai gunung meletus (http://economy.okezone.com/read/2014/08/13/213/1023924/jepang-negara-maju-yang-langganan-bencana-alam). Selain itu, Jepang juga pernah mengalami masa-masa berat akibat kekalahan pada saat Perang Dunia (PD) II. Kekalahan ini ditandai dengan hancurnya daerah Hiroshima dan Nagasaki. Tidak hanya dari kerusakan bangunan, bom yang dilancarkan oleh pihak sekutu juga menyebabkan hilangnya ribuan nyawa. Namun, Jepang langsung berusaha bangkit menghadapi kehancuran tersebut dengan menerapkan pendekatan pembangunan menuju kejayaan Jepang kembali dengan memprioritaskan pendidikan (Kusnandar, 2011: 8).
Pendidikan untuk membangun maupun mengubah masyarakat bukanlah hal yang baru. Aristoteles, Rosseau dan Dewey merupakan tokoh-tokoh yang memandang pendidikan sebagai alat untuk bertransformasi (William K. Cummings, 1984: 4). Jepang melakukan pembaharuan dalam bidang pendidikan secara intensif sehingga masyarakat di negara tersebut menjadi sangat egalitarian. Berikut ini ciri-ciri pendidikan Jepang setelah Perang Dunia II (William K. Cummings, 1984: 6).
a.       Perhatian pada pendidikan dari berbagai pihak
Orang tua dan guru bekerja sama untuk menyelenggarakan pendidikan yang humanitas dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan dirinya. Orang tua menyadari akan pentingnya pendidikan sehingga mereka menyediakan waktu dan tenaga agar anak-anaknya sukses dalam pendidikan. Selain itu, masyarakat umum juga menyadari akan pentingnya pendidikan dan konsekuensi dari pendidikan itu sendiri.
b.      Sekolah Jepang tidak mahal
Siswa dan guru bekerja sama melakukan pekerjaan sekolah sehingga sekolah tidak membutuhkan karyawan. Kebersihan sekolah, menghidangkan makanan siang, dan mengurus fasilitas sekolah merupakan tanggung jawab siswa. Hal itu menyebabkan biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk menggaji karyawan bisa dialokasikan untuk keperluan gedung.
c.       Tidak ada diskriminasi terhadap sekolah
Pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan agar terjadi pemerataan pendidikan baik di kota maupun di desa. Bahkan pemerintah juga memberikan subsidi makan siang untuk siswa dari keluarga miskin, subsidi untuk siswa-siswa di pulau kecil agar dapat naik perahu ke daratan, insentif untuk guru yang bekerja di  daerah terpencil, dan dana tambahan untuk sekolah yang menerima anak-anak dari golongan “outcaste”.
d.      Kurikulum sekolah sangat berat
Ada berbagai mata pelajaran yang diajarkan sejak kelas satu sekolah dasar. Jumlah jam mata pelajaran untuk kesenian, music dan olahraga lebih banyak daripada di Amerika sehingga siswa bersekolah selama 240 hari selama satu tahun agar kurikulum yang berat itu dapat dipenuhi.
e.       Sekolah sebagai unit pendidikan
Guru-guru membuat kebijakan untuk mewujudkan program sekolah yang terpadu. Mereka juga merancang berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan. Setelah itu, secara periodik guru mengevaluasi kemajuan sekolah. Guru-guru juga mengevaluasi kegiatan siswa di luar pembelajaran kelas seperti kegiatan siswa berkumpul di pagi hari sampai kegiatan perkumpulan sekolah. Guru dari kelas lain juga memiliki tanggung jawab untuk menegur siswa kelas lain jika berkelakuan tidak baik sehingga sekolah merupakan unit pendidikan.
f.       Guru terjamin tidak akan kehilangan jabatan
Guru sebagai abdi masyarakat memiliki hak atas jabatannya sejak diangkat asal tidak melakukan tindakan yang luar biasa (dalam hal negatif). Perserikatan guru (Nikkyoso) memperjuangkan hak guru atas pekerjaanya. Guru di Jepang memiliki hak untuk menyatakan keberatan atas tuntutan yang berlebihan dari pihak pemerintah. Mereka juga cukup kuat mengahadapi tekanan dari pihak orangtua yang memiliki kekuasaan. Keselamatan jabatan juga memungkinkan para guru melakukan tugasnya tanpa adanya tekanan dan pengaruh yang berlebihan dari pihak lain.
g.      Guru Jepang penuh dedikasi
Guru menyediakan banyak waktu untuk membicarakan masalah pengajaran pada waktu pagi, pertemuan seminggu sekali serta pertemuan penelitian dua minggu sekali. Guru juga mengunjungi rumah siswa untuk berkomunikasi dengan orang tua siswa. Selain itu, setiap sebulan sekali orang tua siswa diundang ke sekolah untuk melihat kemajuan anaknya. Itu menunjukkan guru-guru di Jepang berdedikasi tinggi.
h.      Guru merasa wajib memberi pendidikan “orang seutuhnya”
Guru menyadari bahwa kewajiban utamanya tidak hanya sekkedar membentuk siswa yang cerdas namun mengembangkan “orang seutuhnya”. Guru berusaha memberikan pendidikan moral berupa nilai-nilai persahabatan, keramah-tamahan, kerjasama dan disiplin
i.        Guru bersikap adil
Guru berusaha menciptakan pembelajaran yang aktif dan jarang menunjukkan perasaan sayang yang berlebih-lebihan kepada siswa terpandai dan tidak mencela siswa yang lemah. Mereka melakukan berbagai usahauntuk membimbing siswa menyelesaikan kurikulum dalam waktu yang telah ditentukan.
Selain dari sistem pendidikan, dalam konteks kesiagaan terhadap bencana, masyarakat Jepang memiliki tingkat literasi yang tinggi. Ini menyebabkan masyarakat memiliki ketangguhan dan kesiagaan yang tinggi terhadap bencana. Potensi bencana yang sangat besar membuat mereka terus belajar dan berbenah diri. Bersama kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologinya, Jepang membangun masyarakatnya menjadi masyarakat yang tangguh dan siaga bencana. Salah satunya dilakukan melalui literasi (http://m.kompasiana.com/post/read/690080/1/literasi-untuk-edukasi-bencana.html).
literasi merupakan salah satu senjata utama untuk membangun masyarakat yang maju, tangguh dan bersahabat dengan alam bahkan bencana. Inilah tantangan besar Indonesia saat ini, bagaimana mendongkrak tingkat literasi masyarakat yang masih rendah dan jauh tertinggal. Namun demikian, upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Jepang dalam menghadapi konflik dan bencana, tidak serta-merta kita adopsi, namun harus dicocokkan dengan variabel-variabel sosiologis, antropologis dan politis di Aceh.
2.      Menuju Pendidikan yang Lebih Baik
Berdasarkan penjelasan di atas, maka ujung tombak reformasi pendidikan di Jepang adalah guru. Selama masa Pemerintahan Pendudukan (Amerika), perserikatan guru (Nikkyoso) terus berupaya untuk memperbaiki sistem pendidikan walaupun upaya tersebut dapat menyebabkan guru di penjara. Itu menunjukkan bahwa kualitas guru di Jepang sudah professional. Sebaliknya, profesionalisme guru-guru di Indonesia pada umumnya dan Aceh pada khususnya masih rendah sehingga ketika menghadapi konflik dan bencana membutuhkan waktu yang lama untuk bangkit. Selain itu, meningkatkan literasi masyarakat merupakan salah satu kekuatan Jepang untuk menghadapi berbagai situasi. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas guru dan meningkatkan literasi masyarakat merupakan usaha yang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan.

C.    Penutup
1.      Kesimpulan
Berdasarkan dari resume dan pembahasan jurnal tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah Aceh sudah melakukan berbagai cara untuk mempertahakan pendidikan selama masa konflik, rekonstruksi, dan pasca-konflik serta pasca-tsunami. Namun satu dekade setelah peristiwa tsunami dan saat peperangan telah berhenti, kondisi pendidikan di Aceh masih memprihatinkan. Ini menunjukkan bahwa ketahanan pendidikan Aceh dalam menghadapi konflik dan bencana belum kuat. Oleh karena itu, pemerintah perlu belajar mengenai kebijakan pendidikan di Jyang telah terbukti ketangguhannya dalam menghadapi konflik dan bencana. Melalui peningkatan profesionalisme guru dan meningkatkan literasi masyarakat,diharapkan, pendidikan di Indonesia pada umumnya,dan Aceh pada khususnya dapat tangguh menghadapi konflik dan bencana.
2.      Saran
Guru merupakan ujung tombak dalam pendidikan. Jika dianalogikan dalam peperangan, guru adalah prajuritnya. Sehebat apapun strategi perang yang direncanakan, jika prajuritnya menyerah bahkan kabur maka akan mengalami peperangan. Sebagus apapun kebijakan pendidikan, jika guru tidak mau berusaha memenuhi kompetensi profesinya, maka mutu pendidikan akan rendah. Oleh karena itu, Penulis berharap guru dapat berjuang dan bertahan dalam kondisi apapun dalam meningkatkan kualitas pendidikan.



Daftar Pustaka

INIS dan PBB. (2003). Konflik Komunal diIndonesia Saat Ini. Jakarta: INIS.

Kusnandar. (2011). Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: Rajawali Press.

Mansur. (2009). Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.

William K. Cummings. (1984). Pendidikan dan Kualitas Manuusia di Jepang. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. (Terjemahan)

H. A. R. Tilaar dan Riant Nugroho. (2008). Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.




http://economy.okezone.com/read/2014/08/13/213/1023924/jepang-negara-maju-yang-langganan-bencana-alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar