Kamis, 29 September 2016

REVIEW JURNAL EXPLORING CREATIVE ENVIRONMENTS THROUGH THE CHILD’S LENS by Deirdre Grogan&Joan Martlew

BAB I
SINOPSIS

1.      Pengantar: Konteks sekarang
Robinson (2010) menunjukkan bahwa pendidikan dapat mengurangi kreativitas anak-anak.  Tajam (2003) melakukan tinjauan di Inggris yang berusaha untuk menyajikan gambaran arus keadaan penelitian dan berpikir tentang hubungan antara seni dan pengembangan kreatif pada anak-anak (usia 3-6 tahun). Dia bertujuan untuk mengidentifikasi masalah, kesenjangan dan prioritas untuk penelitian lebih lanjut dan menemukan  dampak pada anak-anak yang bekerja dengan seniman profesional dalam hal kreativitas mereka. 
Grainger et al. (2006) menyarankan bahwa kreativitas tidak terbatas pada area kurikuler tertentu tetapi justru  elemen penting untuk banyak mata pelajaran karena mendukung kemampuan untuk memecahkan masalah dan menghasilkan ide-ide baru. Gagasan  ini tidak terbatas pada sistem pendidikan formal tetapi juga berlaku untuk organisasi lain dan proyek-proyek yang mungkin terlibat, tidak hanya berpikir artistik dan imajinatif tetapi kemampuan untuk menjadi pandai, inovatif dan inventif.
Starcatchers adalah proyek yang dibangun oleh empat seniman yang masing-masing bekerja selama setahun di teater Skotlandia dengan melibatkan anak-anak dan keluarga mereka dalam berbagai seni terkait pengalaman kinerja dalam komunitas lokal mereka. Pendekatan Starcatchers bertujuan untuk menciptakan pengalaman seni bersama dengan anak-anak dan mungkin dengan keluarga dan pendidik awal. 
2.      Metodologi
Penelitian ini mengambil bentuk studi eksplorasi skala kecil yang difokuskan pada pengembangan desain kinerja masing-masing oleh seniman. Data dikumpulkan melalui metode berikut;  wawancara semi-terstruktur dengan para seniman, meninjau blog seniman dan pengamatan narasi, foto, dan rekaman video dari kinerja masing-masing.
3.      Skema dari Pengamat Bintang Artis-Sebuah Akun Didokumentasi dari Empat Pertunjukan
Fokus utama dari kinerja kediaman artis pertama di Byre adalah hubungan antara kinerja dan bermain kreatif menggunakan boneka, benda, musik dan perkusi untuk mendorong anak-anak menggunakan imajinasi mereka. Artis dan tim pengembangan eksperimen dengan berbagai benda melingkar, termasuk lingkaran, drum dan cakram, menemukan cara untuk bermain dan berinteraksi dengan mereka. Artis menggambarkan tahap berikutnya menjadi sesuatu yang puitis, teater dan indah, mengembangkan lingkungan dari cerita seputar tindakan, membangun untuk klimaks, membuat sesuatu yang lebih besar atau mengubah posisi benda. Aspek penting lain adalah menciptakan lingkungan yang interaktif.
Fokus utama dari kinerja kediaman artis kedua di Tramway bertujuan untuk merangsang pemikiran kreatif anak muda dengan cara yang tidak tergantung pada kata yang diucapkan melainkan berfokus pada cara-cara komunikasi alternatif. Fokus utama dari kinerja kediaman artis ketiga di Carnegie Hall bertujuan untuk melibatkan berbagai usia (lahir sampai empat tahun) pada tingkat yang berbeda. Anak-anak yang sangat muda menikmati gerakan, warna dan suara sedangkan untuk usia lebih tua menikmati pemain, yang bertepuk tangan  interaktif dan kesempatan untuk menari dari dalam penonton dan untuk menemukan saat "Oops sebuah Daisy" .
Kediaman Artis Keempat di Platform menjelaskan cerita berlangsung dan seniman menggunakan gerakan berlebihan atau ekspresi terkejut untuk menyampaikan plot. Perubahan set dari hari ke malam hari, dikorporasi menggunakan benda sehari-hari. Kinerja ditingkatkan dengan penggunaan kedua musik yang menenangkan dan energik, cocok untuk gerakan aktor dan alur cerita berkembang.
4.      Refleksi Artis di Setiap Pertunjukan
Berdasarkan hasil refleksi dari keempat kediaman artis ditemukan pengakuan berupa pengalaman yang menyenangkan dan mendalam untuk membuat teater bersama anak-anak atau orang dewasa.
5.      Diskusi
Dalam lingkungan belajar ada beberapa bukti bahwa, dalam rangka untuk merangsang respon kreatif dari anak-anak, pengalaman belajar membutuhkan unsur kebaruan (Rutland dan Barlex, 2008) namun unsur kebaruan tidak didefinisikan tetapi menyatakan bahwa anak-anak harus termotivasi dan responsif terhadap lingkungan yang dibuat menarik bagi anak-anak.Proyek Starcatchers bertujuan untuk menantang apa yang bisa dibuat untuk anak-anak dengan cara yang langsung melibatkan mereka dan orang-orang penting di sekitar mereka. Csikszentmihalyi (1997:. P 23) menegaskan bahwa, "kreativitas tidak terjadi dalam kepala orang, tetapi dalam interaksi antara pikiran seseorang dan konteks sosial budaya". Oleh karena itu pemeriksaan konteks sosial budaya di mana keluarga dapat membantu mengembangkan kreativitas anak-anak, membentuk lingkungan fisik dan sumber daya yang tersedia dengan cara mengusulkan dan mendorong cara-cara baru untuk berinteraksi dengan ruang akrab dan memberikan anak-anak kesempatan untuk bereksperimen dan mengeksplorasi sumber daya ini.
6.      Kesimpulan
Desain lingkungan belajar yang kreatif harus memastikan bahwa anak-anak menjadi akrab dengan peluang, sumber daya, potensi belajar dengan kesadaran dan keyakinan bahwa orang dewasa akan mendukung pemikiran kreatif mereka. Edelman (2007) menyatakan bahwa "imajinasi relatif bebas dari batasan tujuan", oleh karena itu setiap kinerja memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk memperpanjang kreativitas mereka sendiri tanpa perlu menghasilkan produk akhir yang diharapkan. Akhirnya, jika kita berdiri kembali dan mengambil waktu untuk mengamati anak-anak dalam lingkungan belajar yang kreatif, kita akan mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana anak-anak muda berpikir dan belajar dan berdampak pada keyakinan pedagogis kita sendiri dan praktek kita sendiri. "Menciptakan keharmonisan, lingkungan yang berarti dalam ruang dan waktu membantu Anda untuk menjadi pribadi yang kreatif" (Csikszentmihalyi, 1996: 146) .
BAB II
PEMBAHASAN

Mengajar merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Apalagi di era sekarang ini,banyak siswa yang berperilaku menyimpang. Misalnya, kasus yang belum lama ini mengguncang dunia pendidikan yaitu tindakan kekerasan sekelompok anak SMA bahkan sampai menculik korban yang terjadi di Yogyakarta. Peristiwa itu menunjukkan betapa moral pelajar kita mengalami permasalahan. Hal itu tidak hanya terjadi saat usia remaja, tetapi juga mulai muncul sejak anak masih bersekolah di pendidikan anak usia dini (PAUD). Memang tidak semua pelajar seperti itu, namun setidaknya kasus bullying sudah menjadi hal yang biasa dalam dunia pendidikan. Salah satu penyebab tindakan tersebut adalah kurang adanya ruang untuk berekspresi atau mencurahkan kreativitas dalam kehidupan sehari-hari.
Pelajar masa kini lebih sering dijejali dengan padatnya materi pembelajaran yang ada di sekolah. Alih-alih mengembangkan softskill-nya, mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dan ikut berbagai les dimana-mana. Awalnya, kegiatan tersebut memang dapat meningkatkan wawasan siswa, namun lama-kelamaan siswa mersa jenuh dan bosan sehingga mereka melampiaskan perasaannya dengan kegiatan yang kurang bermanfaat.
Lebih dari itu,pendidikan  formal di sekolah lebih menstimulus kerja otak kiri dari pada otak kanan seperti kegiatan membaca, menulis, berhitung atau matematika (Kompas, 2002). Pembelajaran yang terlalu mengedepankan otak kiri menyebabkan otak kanan yang berfungsi mengembangkan kreativitas siswa kurang berkembang. Pendapat tersebut diperkuat oleh pernyataan Robinson (Grogan, Deirdre & Joan Martlew, 2014: 2) yang mengungkapkan bahwa “Pendidikan dapat mengurangi kreativitas anak-anak”. Kurangnya stimulus yang diberikan kepada anak, sebenarnya sudah terjadi sejak balita. Sejak kecil, banyak anak yang kurang mendapatkan stimulus karena waktunya dihabiskan di tempat penitipan anak. Bahkan, Courage&Setliff  (Schunk, D.H, 2012: 75) mengungkapkan sekitar 60% bayi dan balita menghabiskan waktu sekitar satu sampai dua jam  menonton TV atau video. Meskipun mereka mungkin mendapatkan pembelajaran dari tontonan tersebut, tetapi itu tidak mudah jika dilakukan sendiri. Pemahaman akan meningkat jika ada pendamping yang menjelaskan mengenai apa yang mereka tonton. Kondisi tersebut menyebabkan kreativitas anak kurang berkembang.
Perkembangan kreativitas sangat dipengaruhi oleh otak kanan. Otak kanan berfungsi dalam artistik, kreatif dan naluriah (Rismawati, 2012). Pemikiran yang dihasilkan oleh otak kanan sangat luas dan tak terbatas. Oleh karena itu, bukan hal yang mengherankan jika seseorang menggambar benda yang belum pernah dilihatnya bahkan tidak ada di bumi karena imajinasi yang lahir dari kreativitas otak kanan dapat menembus ruang dan waktu.
Kreativitas tidak semata-mata diperoleh berdasarkan faktor keturunan namun dipengaruhi oleh stimulus. Otak memiliki cabang sel  syaraf yang disebut dendrit. Dendrit berfungsi mengirim rangsangan atau stimulus ke badan sel saraf. Mantra Kaudfeldt (2008: 15) menjelaskan dendrit-dendrit akan menjadi kuat bila “synapsis” (hubungan-hubungan antar syaraf) semakin sering dirangsang. Ingatan terbentuk ketika sebuah kelompok neutron-neutron diaktifkan dan menyala bersama. Tanpa sering dirangsang, otak akan memangkas cabang-cabang yang tidak digunakan.
Otak akan memberikan tanggapan yang terbaik ketika anak melihat makna dan dapat membuat suatu hubungan pada pengalaman-pengalaman sebelumnya. Jika tugas-tugas terlalu sukar, pengembangan yang tidak sesuai, tidak relevan, atau tidak cukup menantang, maka otak cenderung tidak bekerja. Unsur-unsur kimiawi otak yang diperlukan tidak dilepaskan, pertumbuhan dendritik tidak dirangsang, dan pembelajaran secara optimal tidak terjadi. Maka sangat penting memberikan stimulus agar otak kanan yang mengatur kreativitas dapat berkembang.
Kreativitas juga sangat dibutuhkan untuk membantu anak dalam menyelesaikan permasalahan hidup dan bersaing secara global. Oleh sebab itu, memfasilitasi ruang untuk menyalurkan kreativitas siswa merupakan ranah yang penting. Melalui ranah tersebut, siswa dapat menyalurkan ekspresi dan emosi dengan tepat. Oleh karena itu, dunia pendidikan memiliki tanggung jawab dalam memberikan kesempatan menyalurkan kreativitasnya sehingga anak terbiasa berpikir kreatif sejak kecil.
Kreativitas dapat diintegrasikan dalam  mata pelajaran ataupun dimasukkan dalam ekstra kurikuler. Sebagaimana yang disarankan oleh Grainger et al. (Grogan, Deirdre & Joan Martlew, 2014: 2)  bahwa kreativitas tidak terbatas pada area kurikuler tertentu tetapi justru  elemen penting untuk banyak mata pelajaran karena mendukung kemampuan untuk memecahkan  masalah dan menghasilkan ide-ide baru. Gagasan  tersebut  tidak terbatas pada sistem pendidikan formal tetapi juga berlaku untuk organisasi lain dan proyek-proyek yang mungkin melibatkan kemampuan untuk menjadi pandai, inovatif dan inventif.
Deirdre Grogan & Joan Martlew dalam jurnalnya yang berjudul Exploring Creative Environments through the Child’s Lens mencoba melihat dampak pada anak-anak yang bekerja dengan seniman profesional dalam hal kreativitas mereka. Berdasarkan penelitan tersebut,ditemukan fakta yang paling penting untuk memfasilitasi kreativitas anak adalah  konteks akrab. Hal itu untuk memastikan bahwa anak-anak merasa nyaman di lingkungan dan lebih responsif terhadap kinerja. Sebagaimana yang diungkapakn oleh Sue Cowley (2010: 175),  untuk menciptakan kreativitas siswa, guru dapat membuat ruang kelas menjadi:
1.      terbuka untuk siapa saja
2.      rapi dan tidak acak-acakan
3.      tertata dengan baik
4.      memiliki alat bantu belajar yang lengkap
5.      susunannya jelas
6.      nyaman dan aman
7.      menyenangkan, penuh warna, menarik, multisensory
8.      bersifat personal bagi anda
ASCD (Mantra Kaudfeldt, 2008: 10) juga mengungkapkan bahwa
Pendekatan-pendekatan untuk sekolah yang para penyidik percayai adalah yang sesuai dengan penyelidikan terbaru pada otak dan pembelajaran manusia. Para penasihat pendidikan berkata,otak manusia secara konstan mencari art dan mencari pola-pola dan hubungan-kaitannya. Situasi pembelajaran asli meningkatkan kemampuan otak untuk membuat hubungan-hubungan dengan informasi baru. Santai, lingkungan yang tidak mengancam, yang mengurangi ketakutan para siswa dari kegagalan dianggap sebagian orang meningkatkan pembelajaran. Penelitian juga mendokumentasikan keluwesan otak,yaitu kemampuan otak untuk tumbuh dan beradaptasi dalam menanggapi rangsang luar.

Hal-hal itu dapat membantu kita menciptakan sekolah yang lebih selaras dengan bagaimana otak belajar secara efektif dan efisien sehingga kreativitas siswa dapat dikembangkan.
Pengembangan kreativitas pada anak dapat diintegrasikan dalam pembelajaran maupun dilaksanakan di luar pembelajaran. Klausmeier & Ripple (Daryanto, 2009: 153-155) menjelaskan asas-asas pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas dilakukan dengan cara:
1.      memberikan kesempatan siswa untuk berekspresi,
2.      keberhasilan yang dialami dalam usaha-usaha kreatif mendorong ekspresi kreatif yang tingkatnya lebih tinggi,
3.      berpikir dan bertingkah laku secara bebas dan meluas, dan
4.      menggunakan cara-cara untuk mengembangkan kreativitas.
Hal penting yang harus ditekankan untuk mengembangkan lingkungan kreatif adalah rasa nyaman, aman, dan kebebasan yang bertanggung jawab bagi anak. Sebagaimana yang dilaksanakan oleh Starcatchers untuk memfasilitasi kreativitas anak, mereka mengajak anak-anak berkontribusi dalam pertunjukan yang diadakan di kediaman beberapa artis. Di Indonesia sendiri, kegiatan seperti yang dilakukan Starcatchers masih sangat jarang.
Upaya memfasilitasi kreativitas siswa yang dilaksanakan di Indonesia adalah penerapan mata pelajaran Seni Budaya dan Kesenian. Mata pelajaran tersebut memfasilitasi siswa untuk menggambar, mewarnai, meronce, dll. Kegiatan tersebut dapat mengembangkan kreativias siswa. Namun, pelaksanaan mata pelajaran tersebut di sekolah kurang maksimal karena guru seringkali hanya meminta siswa menggambar dan mewarnai kemudian meninggalkan siswa (siswa tidak diberi pengarahan). Selain itu, kegiatan pada mata pelajaran tersebut juga monoton karena guru juga kurang kreatif dalam mendesain pembelajaran. Menurut pengakuan dari beberapa guru, mereka sering mengalami kebingungan untuk mengembangkan pembelajaran seni yang kreatif karena terbentur oleh waktu, media dan kemampuan dari diri guru sendiri. Oleh karena itu, guru hanya memberikan kegiatan menggambar dan mewarnai karena kegiatan tersebut mudah dilaksanakan. Itu berarti, guru masih merasa kesulitan memfasilitasi pembelajaran yang kreatif.
Menanggapi permasalahan tersebut, Penulis memberikan saran mengenai kegiatan sederhana yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kreativitas siswa di lingkungan sekolah baik dalam proses belajar maupun di lur pembelajaran dan lingkungan di luar sekolah yaitu melakukan permainan tradisional. Tentunya guru sudah cukup memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam permainan tradhisional. Permainan tradhisional ini juga tidak menghabiskan banyak waktu, alat-alat permainan mudah ditemukan dan ini tidak akan menyulitkan guru.
Permainan adalah kegiatan sukarela atau aktivitas spontan yang tidak memiliki tujuan  tertentu. Catherine Garvey (Mansur, 2009: 149) menyebutkan karakteristik permainan yaitu kegiatan yang menyenangkan, menggembirakan, tidak memiliki tujuan ekstrinsik, hal yang sukarela atau spontan, dan membutuhkan keterlibatan aktif dari para pemain. Dilihat dari karakteristik tersebut,  permainan akan menjadi kegiatan yang menyenangkan baik bagi siswa maupun guru sehingga tidak akan  ada pihak yang akan terbebani. Kegiatan tersebut juga bisa digunakan untuk melestarikan kebudayaan jika dilaksanakan dalam kegiatan permainan tradhisional. Permainan tradhisional umumnya dilakukan secara berkelompok, membutuhkan kegiatan fisik dan dapat memupuk berbagai nilai seperti kerja sama, keberanian dan sportivitas.
Permainan tradisional memiliki manfaat untuk membantu tumbuh kembang anak. Mansur (2009: 151) menjelaskan saat bermain, anak dapat berkeksperimen  tanpa gangguan sehingga dengan demikian akan membangun kemampuan yang kompleks. Permainan tradisional dari Indonesia contohnya congklak, betengan, gobak sodor, dll. Permainan-permainan tersebut sudah jarang dilakukan oleh anak-anak jaman sekarang. Anak-anak lebih sering bermain playstation, game online dan permainan modern lainnya. Permainan modern tersebut lebih mengedepankan kerja otak kiri sehingga otak kanan pada anak kurang digunakan. Selain itu, permainan modern juga membentuk anak-anak yang individualis dan kurang berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya. Apa akibat dari hal tersebut? Tentunya kreativitas siswa kurang berkembang karena stimulus yang diterima dendrit tidak banyak. Jika dendrit tidak menerima stimulus yang banyak maka hubungan antar syaraf akan lemah.
Permainan  tradhisional dapat dilakukan di sekolah maupun di luar sekolah. Permainan inipun dapat dilakukan untuk beragam usia sehingga tidak menutup kemungkinan permainan ini dilakukan antara ayah, ibu, dan anak-anak mereka. Permainan tradhisional umumnya hanya membutuhkan beberapa alat dan alat-alat tersebut sangat mudah untuk dibuat. Permainan tersebut juga bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja sehingga tidak terbatas pada ruang dan waktu. Itu berarti, pengembangan kreativitas ini dapat dilakukan dengan orang-orang yang dekat dengan anak sehingga tercipta suasana akrab. Suasana akrab tersebut dapat merangsang kreativitas siswa. Sesuai penjelasan Catherine Garvey mengenai karakteristik permainan yang telah dijelaskan di atas maka permainan tradhisional merupakan salah satu metode sederhana yang bisa digunakan untukmengembangkan kreativitas siswa
Ada beberapa alasan kuat mengapa permainan tradhisional dapat meningkatkan kreativitas siswa. Pertama, bermain merupakan kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan sehingga anak tidak merasa tertekan. Suasana yang menyenangkan dapat memfasilitasi perkembangan kreativitas anak. Kedua, permainan tidak memiliki tujuan ekstrinsik, namun bukan berarti tidak memiliki makna. Pada dasarnya langkah-langkah yang ada pada permainan tradhisional membutuhkan ide kreatif agar anak dapat memenangkan permainan. Keberhasilan yang dialami dalam usaha-usaha kreatif mendorong ekspresi kreatif yang tingkatnya lebih tinggi. Ketiga, aturan-aturan yang ada dalam permainan tradhisional dapat dimodifikasi sesuai dengan kesepakatan para pemain. Hal itu membuat anak dapat berpikir, bereksperimen dan bertingkah laku secara bebas dan meluas. Kegiatan tersebut juga dapat menunmbuhkan keterampilan dan nilai-nilai yang kompleks. Keempat, permainan tradhisional membutuhkan energy fisik dan kecerdasan baik otak kiri maupun otak kanan.ini membuat, waktu siswa dihabiskan dengan bermanfaat sehingga adanya kegiatan-kegiatan negatif yang terjadi pada anak-anak dapat diminimalisisr. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan jika permainan tradhisional dapat mengembangkan kreativitas siswa.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kreativitas tidak semata-mata diperoleh berdasarkan faktor keturunan namun dipengaruhi oleh stimulus. Stimulus dapat diterima jika anak melakukan berbaggai kegiatan contohnya permainan tradhisional. Permainan ini  sudah mulai ditnggalkan karena kebanyakan anak menghabiskan waktunya dengan permainan modern. Padahal permainan modern umunya kurang mengembangkan kemampuan otak kanan.
Permainan tradhisional dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Permainan ini dapat diintegrasikan dalam pembelajaran atau dilakukan di luar sekolah. Keluarga sebagai orang terdekat bagi anak juga dapat melakukan kegiatan ini karena sangat sederhana. Oleh karena itu, penerapan permainan tradhisional sangat disarankan sebagai salah satu cara sederhana untuk mengembangkan kreativitas siswa.

B.     Saran
Keluarga sebagai orang terdekat bagi anak hendaknya memfasilitasi pekembangan kreativitas anak. Dengan memfasilutasi perkembangan kreativitas anak, sama artinya dengan melatih anak untuk menyelesaikan permasalahan hidup dan bersaing secara global.
DAFTAR PUSTAKA

Daryanto. (2009). Panduan Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif. Jakarta: AV Publisher.

Grogan, Deirdre & Joan Martlew . (2014).  Exploring Creative Environments through the Child’s Lens. Creative Education, 5, 1528-1539.

Kompas. (2001). Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif.  Jakarta: Kompas.

Made Wena. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Mansur. (2009). Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR

Mantra Kaudfeldt. (2008). Wahai Para Guru, Ubahlah Cara Mengajarmu: Perintah Pengajaran yang Berbeda-beda dan Sesuai Dengan Otak. Jakarta: PT Macanan Jaya Cemerlang.

Rismawati. (2012). Menstimulasi Perkembangan Otak dengan Permainan (Untuk Anak Usia 0-12 Tahun). Yogyakarta: PT Pustaka Insani Madani.

Schunk, D.H. (2012). Teori-teori Pembelajaran: Perspektif Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sue Cowley. (2010). Panduan Manajemen Perilaku Siswa. Jakarta : Erlangga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar