BAB
I
SINOPSIS
1.
Pengantar:
Konteks sekarang
Robinson
(2010) menunjukkan bahwa pendidikan dapat mengurangi kreativitas anak-anak. Tajam (2003) melakukan tinjauan di Inggris yang berusaha
untuk menyajikan gambaran arus keadaan penelitian dan berpikir tentang hubungan
antara seni dan pengembangan kreatif pada anak-anak (usia 3-6 tahun). Dia bertujuan untuk mengidentifikasi masalah,
kesenjangan dan prioritas untuk penelitian lebih lanjut dan menemukan dampak pada anak-anak yang bekerja dengan
seniman profesional dalam hal kreativitas mereka.
Grainger
et al. (2006) menyarankan bahwa kreativitas tidak terbatas
pada area kurikuler tertentu tetapi justru elemen penting untuk banyak mata pelajaran
karena mendukung kemampuan untuk memecahkan masalah dan
menghasilkan ide-ide baru. Gagasan ini tidak terbatas pada
sistem pendidikan formal tetapi juga berlaku untuk organisasi lain dan
proyek-proyek yang mungkin terlibat, tidak hanya
berpikir artistik dan imajinatif tetapi kemampuan untuk menjadi pandai, inovatif dan inventif.
Starcatchers adalah proyek yang dibangun oleh empat seniman yang masing-masing bekerja selama setahun di teater
Skotlandia dengan melibatkan anak-anak dan keluarga mereka dalam berbagai seni
terkait pengalaman kinerja dalam komunitas lokal
mereka. Pendekatan Starcatchers bertujuan untuk
menciptakan pengalaman seni bersama dengan anak-anak
dan mungkin dengan keluarga dan pendidik awal.
2.
Metodologi
Penelitian
ini mengambil bentuk studi eksplorasi skala kecil yang difokuskan pada
pengembangan desain kinerja masing-masing oleh seniman. Data dikumpulkan melalui metode berikut; wawancara semi-terstruktur dengan para seniman,
meninjau blog seniman dan pengamatan narasi, foto, dan rekaman video dari
kinerja masing-masing.
3.
Skema
dari Pengamat Bintang Artis-Sebuah Akun Didokumentasi dari Empat Pertunjukan
Fokus
utama dari kinerja kediaman artis pertama di Byre adalah hubungan antara kinerja dan bermain
kreatif menggunakan boneka, benda, musik dan perkusi untuk mendorong anak-anak
menggunakan imajinasi mereka. Artis dan tim
pengembangan eksperimen dengan berbagai benda melingkar, termasuk lingkaran,
drum dan cakram, menemukan cara untuk bermain dan berinteraksi dengan mereka.
Artis menggambarkan tahap berikutnya menjadi sesuatu yang puitis, teater dan
indah, mengembangkan lingkungan dari cerita seputar tindakan, membangun untuk
klimaks, membuat sesuatu yang lebih besar atau mengubah posisi benda. Aspek
penting lain adalah menciptakan lingkungan yang interaktif.
Fokus
utama dari kinerja kediaman artis kedua di Tramway bertujuan untuk merangsang pemikiran kreatif anak muda dengan cara yang tidak
tergantung pada kata yang diucapkan melainkan
berfokus pada cara-cara komunikasi alternatif. Fokus utama dari kinerja kediaman artis ketiga di Carnegie Hall bertujuan untuk melibatkan berbagai usia (lahir sampai empat tahun)
pada tingkat yang berbeda. Anak-anak yang sangat muda
menikmati gerakan, warna dan suara sedangkan untuk usia lebih tua menikmati pemain, yang bertepuk
tangan interaktif
dan kesempatan untuk menari dari dalam penonton dan untuk menemukan saat "Oops sebuah Daisy" .
Kediaman Artis
Keempat di Platform menjelaskan cerita berlangsung dan seniman menggunakan gerakan
berlebihan atau ekspresi terkejut untuk menyampaikan plot. Perubahan set dari hari ke
malam hari, dikorporasi menggunakan benda sehari-hari. Kinerja ditingkatkan dengan
penggunaan kedua musik yang menenangkan dan energik, cocok untuk gerakan aktor
dan alur cerita berkembang.
4.
Refleksi
Artis di Setiap Pertunjukan
Berdasarkan hasil
refleksi dari keempat kediaman artis ditemukan pengakuan berupa pengalaman yang
menyenangkan dan mendalam untuk membuat teater bersama anak-anak atau orang
dewasa.
5.
Diskusi
Dalam
lingkungan belajar ada beberapa bukti bahwa, dalam rangka untuk merangsang
respon kreatif dari anak-anak, pengalaman belajar membutuhkan unsur kebaruan (Rutland dan Barlex, 2008) namun unsur kebaruan tidak didefinisikan tetapi
menyatakan bahwa anak-anak harus termotivasi dan responsif terhadap lingkungan yang dibuat menarik bagi anak-anak.Proyek Starcatchers bertujuan untuk menantang apa yang bisa dibuat
untuk anak-anak dengan cara yang langsung melibatkan mereka dan orang-orang
penting di sekitar mereka. Csikszentmihalyi (1997:.
P 23) menegaskan bahwa, "kreativitas tidak terjadi dalam kepala orang,
tetapi dalam interaksi antara pikiran seseorang dan konteks sosial
budaya". Oleh karena itu pemeriksaan konteks sosial
budaya di mana keluarga dapat membantu mengembangkan kreativitas anak-anak,
membentuk lingkungan fisik dan sumber daya yang tersedia dengan cara mengusulkan
dan mendorong cara-cara baru untuk berinteraksi dengan ruang akrab dan
memberikan anak-anak kesempatan untuk bereksperimen dan mengeksplorasi sumber
daya ini.
6.
Kesimpulan
Desain lingkungan belajar
yang kreatif harus memastikan bahwa anak-anak menjadi akrab dengan peluang,
sumber daya, potensi belajar dengan kesadaran
dan keyakinan bahwa orang dewasa akan mendukung pemikiran kreatif mereka. Edelman (2007) menyatakan bahwa "imajinasi
relatif bebas dari batasan tujuan", oleh karena itu setiap kinerja
memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk memperpanjang kreativitas mereka
sendiri tanpa perlu menghasilkan produk akhir yang diharapkan. Akhirnya,
jika kita berdiri kembali dan mengambil waktu untuk mengamati anak-anak dalam
lingkungan belajar yang kreatif, kita akan mendapatkan
pengetahuan tentang bagaimana anak-anak muda berpikir dan belajar dan berdampak
pada keyakinan pedagogis kita sendiri dan praktek kita sendiri. "Menciptakan keharmonisan,
lingkungan yang berarti dalam ruang dan waktu membantu Anda untuk menjadi
pribadi yang kreatif" (Csikszentmihalyi,
1996: 146) .
BAB
II
PEMBAHASAN
Mengajar merupakan
pekerjaan yang tidak mudah. Apalagi di era sekarang ini,banyak siswa yang
berperilaku menyimpang. Misalnya, kasus yang belum lama ini mengguncang dunia
pendidikan yaitu tindakan kekerasan sekelompok anak SMA bahkan sampai menculik
korban yang terjadi di Yogyakarta. Peristiwa itu menunjukkan betapa moral
pelajar kita mengalami permasalahan. Hal itu tidak hanya terjadi saat usia
remaja, tetapi juga mulai muncul sejak anak masih bersekolah di pendidikan anak
usia dini (PAUD). Memang tidak semua pelajar seperti itu, namun setidaknya kasus
bullying sudah menjadi hal yang biasa
dalam dunia pendidikan. Salah satu penyebab tindakan tersebut adalah kurang
adanya ruang untuk berekspresi atau mencurahkan kreativitas dalam kehidupan
sehari-hari.
Pelajar masa kini lebih
sering dijejali dengan padatnya materi pembelajaran yang ada di sekolah.
Alih-alih mengembangkan softskill-nya,
mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR)
dan ikut berbagai les dimana-mana. Awalnya, kegiatan tersebut memang dapat
meningkatkan wawasan siswa, namun lama-kelamaan siswa mersa jenuh dan bosan
sehingga mereka melampiaskan perasaannya dengan kegiatan yang kurang
bermanfaat.
Lebih dari
itu,pendidikan formal di sekolah lebih
menstimulus kerja otak kiri dari pada otak kanan seperti kegiatan membaca,
menulis, berhitung atau matematika (Kompas, 2002). Pembelajaran yang terlalu
mengedepankan otak kiri menyebabkan otak kanan yang berfungsi mengembangkan
kreativitas siswa kurang berkembang. Pendapat tersebut diperkuat oleh
pernyataan Robinson (Grogan, Deirdre
& Joan Martlew, 2014: 2) yang mengungkapkan bahwa “Pendidikan dapat mengurangi kreativitas anak-anak”. Kurangnya
stimulus yang diberikan kepada anak, sebenarnya sudah terjadi sejak balita.
Sejak kecil, banyak anak yang kurang mendapatkan stimulus karena waktunya
dihabiskan di tempat penitipan anak. Bahkan, Courage&Setliff (Schunk, D.H, 2012: 75) mengungkapkan sekitar
60% bayi dan balita menghabiskan waktu sekitar satu sampai dua jam menonton TV atau video. Meskipun mereka
mungkin mendapatkan pembelajaran dari tontonan tersebut, tetapi itu tidak mudah
jika dilakukan sendiri. Pemahaman akan meningkat jika ada pendamping yang
menjelaskan mengenai apa yang mereka tonton. Kondisi tersebut menyebabkan kreativitas
anak kurang berkembang.
Perkembangan
kreativitas sangat dipengaruhi oleh otak kanan. Otak kanan berfungsi dalam
artistik, kreatif dan naluriah (Rismawati, 2012). Pemikiran yang dihasilkan
oleh otak kanan sangat luas dan tak terbatas. Oleh karena itu, bukan hal yang
mengherankan jika seseorang menggambar benda yang belum pernah dilihatnya
bahkan tidak ada di bumi karena imajinasi yang lahir dari kreativitas otak
kanan dapat menembus ruang dan waktu.
Kreativitas tidak
semata-mata diperoleh berdasarkan faktor keturunan namun dipengaruhi oleh
stimulus. Otak memiliki cabang sel
syaraf yang disebut dendrit. Dendrit berfungsi mengirim rangsangan atau
stimulus ke badan sel saraf. Mantra Kaudfeldt (2008: 15) menjelaskan dendrit-dendrit
akan menjadi kuat bila “synapsis”
(hubungan-hubungan antar syaraf) semakin sering dirangsang. Ingatan terbentuk
ketika sebuah kelompok neutron-neutron diaktifkan dan menyala bersama. Tanpa
sering dirangsang, otak akan memangkas cabang-cabang yang tidak digunakan.
Otak akan memberikan
tanggapan yang terbaik ketika anak melihat makna dan dapat membuat suatu
hubungan pada pengalaman-pengalaman sebelumnya. Jika tugas-tugas terlalu sukar,
pengembangan yang tidak sesuai, tidak relevan, atau tidak cukup menantang, maka
otak cenderung tidak bekerja. Unsur-unsur kimiawi otak yang diperlukan tidak
dilepaskan, pertumbuhan dendritik tidak dirangsang, dan pembelajaran secara
optimal tidak terjadi. Maka sangat penting memberikan stimulus agar otak kanan
yang mengatur kreativitas dapat berkembang.
Kreativitas juga sangat
dibutuhkan untuk membantu anak dalam menyelesaikan permasalahan hidup dan
bersaing secara global. Oleh sebab itu, memfasilitasi ruang untuk menyalurkan kreativitas
siswa merupakan ranah yang penting. Melalui ranah tersebut, siswa dapat menyalurkan
ekspresi dan emosi dengan tepat. Oleh karena itu, dunia pendidikan memiliki
tanggung jawab dalam memberikan kesempatan menyalurkan kreativitasnya sehingga
anak terbiasa berpikir kreatif sejak kecil.
Kreativitas dapat diintegrasikan
dalam mata pelajaran ataupun dimasukkan
dalam ekstra kurikuler. Sebagaimana yang disarankan oleh Grainger et al. (Grogan,
Deirdre & Joan Martlew, 2014: 2) bahwa
kreativitas tidak terbatas pada area kurikuler tertentu tetapi justru elemen penting untuk banyak mata pelajaran karena
mendukung kemampuan untuk memecahkan masalah dan menghasilkan ide-ide baru. Gagasan
tersebut tidak terbatas pada sistem pendidikan formal
tetapi juga berlaku untuk organisasi lain dan proyek-proyek yang mungkin
melibatkan kemampuan untuk menjadi pandai, inovatif dan inventif.
Deirdre Grogan & Joan Martlew dalam jurnalnya yang berjudul Exploring Creative Environments through the
Child’s Lens mencoba melihat
dampak pada anak-anak yang bekerja dengan seniman profesional dalam hal
kreativitas mereka. Berdasarkan penelitan tersebut,ditemukan fakta yang paling
penting untuk memfasilitasi kreativitas anak adalah konteks akrab. Hal itu untuk memastikan bahwa
anak-anak merasa nyaman di lingkungan dan lebih responsif terhadap kinerja.
Sebagaimana yang diungkapakn oleh Sue Cowley (2010: 175), untuk menciptakan kreativitas siswa, guru
dapat membuat ruang kelas menjadi:
1. terbuka
untuk siapa saja
2. rapi
dan tidak acak-acakan
3. tertata
dengan baik
4. memiliki
alat bantu belajar yang lengkap
5. susunannya
jelas
6. nyaman
dan aman
7. menyenangkan,
penuh warna, menarik, multisensory
8.
bersifat personal bagi anda
ASCD (Mantra Kaudfeldt, 2008: 10) juga
mengungkapkan bahwa
Pendekatan-pendekatan
untuk sekolah yang para penyidik percayai adalah yang sesuai dengan
penyelidikan terbaru pada otak dan pembelajaran manusia. Para penasihat
pendidikan berkata,otak manusia secara konstan mencari art dan mencari pola-pola dan hubungan-kaitannya. Situasi
pembelajaran asli meningkatkan kemampuan otak untuk membuat hubungan-hubungan
dengan informasi baru. Santai, lingkungan yang tidak mengancam, yang mengurangi
ketakutan para siswa dari kegagalan dianggap sebagian orang meningkatkan
pembelajaran. Penelitian juga mendokumentasikan keluwesan otak,yaitu kemampuan
otak untuk tumbuh dan beradaptasi dalam menanggapi rangsang luar.
Hal-hal itu dapat membantu kita
menciptakan sekolah yang lebih selaras dengan bagaimana otak belajar secara
efektif dan efisien sehingga kreativitas siswa dapat dikembangkan.
Pengembangan
kreativitas pada anak dapat diintegrasikan dalam pembelajaran maupun
dilaksanakan di luar pembelajaran. Klausmeier & Ripple (Daryanto, 2009: 153-155)
menjelaskan asas-asas pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas dilakukan
dengan cara:
1. memberikan
kesempatan siswa untuk berekspresi,
2. keberhasilan
yang dialami dalam usaha-usaha kreatif mendorong ekspresi kreatif yang
tingkatnya lebih tinggi,
3. berpikir
dan bertingkah laku secara bebas dan meluas, dan
4. menggunakan
cara-cara untuk mengembangkan kreativitas.
Hal penting yang harus ditekankan untuk
mengembangkan lingkungan kreatif adalah rasa nyaman, aman, dan kebebasan yang
bertanggung jawab bagi anak. Sebagaimana yang dilaksanakan oleh Starcatchers
untuk
memfasilitasi kreativitas anak, mereka mengajak anak-anak berkontribusi dalam
pertunjukan yang diadakan di kediaman beberapa artis. Di Indonesia sendiri,
kegiatan seperti yang dilakukan Starcatchers masih sangat
jarang.
Upaya memfasilitasi
kreativitas siswa yang dilaksanakan di Indonesia adalah penerapan mata
pelajaran Seni Budaya dan Kesenian. Mata pelajaran tersebut memfasilitasi siswa
untuk menggambar, mewarnai, meronce, dll. Kegiatan tersebut dapat mengembangkan
kreativias siswa. Namun, pelaksanaan mata pelajaran tersebut di sekolah kurang
maksimal karena guru seringkali hanya meminta siswa menggambar dan mewarnai
kemudian meninggalkan siswa (siswa tidak diberi pengarahan). Selain itu,
kegiatan pada mata pelajaran tersebut juga monoton karena guru juga kurang
kreatif dalam mendesain pembelajaran. Menurut pengakuan dari beberapa guru,
mereka sering mengalami kebingungan untuk mengembangkan pembelajaran seni yang
kreatif karena terbentur oleh waktu, media dan kemampuan dari diri guru sendiri.
Oleh karena itu, guru hanya memberikan kegiatan menggambar dan mewarnai karena
kegiatan tersebut mudah dilaksanakan. Itu berarti, guru masih merasa kesulitan
memfasilitasi pembelajaran yang kreatif.
Menanggapi permasalahan
tersebut, Penulis memberikan saran mengenai kegiatan sederhana yang dapat
dilakukan untuk mengembangkan kreativitas siswa di lingkungan sekolah baik
dalam proses belajar maupun di lur pembelajaran dan lingkungan di luar sekolah yaitu
melakukan permainan tradisional. Tentunya guru sudah cukup memiliki pengetahuan
dan pengalaman dalam permainan tradhisional. Permainan tradhisional ini juga
tidak menghabiskan banyak waktu, alat-alat permainan mudah ditemukan dan ini
tidak akan menyulitkan guru.
Permainan adalah kegiatan
sukarela atau aktivitas spontan yang tidak memiliki tujuan tertentu. Catherine Garvey (Mansur, 2009: 149)
menyebutkan karakteristik permainan yaitu kegiatan yang menyenangkan,
menggembirakan, tidak memiliki tujuan ekstrinsik, hal yang sukarela atau
spontan, dan membutuhkan keterlibatan aktif dari para pemain. Dilihat dari
karakteristik tersebut, permainan akan
menjadi kegiatan yang menyenangkan baik bagi siswa maupun guru sehingga tidak
akan ada pihak yang akan terbebani.
Kegiatan tersebut juga bisa digunakan untuk melestarikan kebudayaan jika
dilaksanakan dalam kegiatan permainan tradhisional. Permainan tradhisional umumnya
dilakukan secara berkelompok, membutuhkan kegiatan fisik dan dapat memupuk
berbagai nilai seperti kerja sama, keberanian dan sportivitas.
Permainan tradisional
memiliki manfaat untuk membantu tumbuh kembang anak. Mansur (2009: 151)
menjelaskan saat bermain, anak dapat berkeksperimen tanpa gangguan sehingga dengan demikian akan
membangun kemampuan yang kompleks. Permainan tradisional dari Indonesia
contohnya congklak, betengan, gobak sodor, dll. Permainan-permainan tersebut
sudah jarang dilakukan oleh anak-anak jaman sekarang. Anak-anak lebih sering
bermain playstation, game online dan permainan modern lainnya. Permainan modern
tersebut lebih mengedepankan kerja otak kiri sehingga otak kanan pada anak
kurang digunakan. Selain itu, permainan modern juga membentuk anak-anak yang
individualis dan kurang berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya. Apa akibat
dari hal tersebut? Tentunya kreativitas siswa kurang berkembang karena stimulus
yang diterima dendrit tidak banyak. Jika dendrit tidak menerima stimulus yang
banyak maka hubungan antar syaraf akan lemah.
Permainan
tradhisional dapat dilakukan di sekolah
maupun di luar sekolah. Permainan inipun dapat dilakukan untuk beragam usia
sehingga tidak menutup kemungkinan permainan ini dilakukan antara ayah, ibu,
dan anak-anak mereka. Permainan tradhisional umumnya hanya membutuhkan beberapa
alat dan alat-alat tersebut sangat mudah untuk dibuat. Permainan tersebut juga
bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja sehingga tidak terbatas pada ruang
dan waktu. Itu berarti, pengembangan kreativitas ini dapat dilakukan dengan
orang-orang yang dekat dengan anak sehingga tercipta suasana akrab. Suasana
akrab tersebut dapat merangsang kreativitas siswa.
Sesuai penjelasan Catherine Garvey mengenai karakteristik permainan yang telah
dijelaskan di atas maka permainan tradhisional merupakan salah satu metode
sederhana yang bisa digunakan untukmengembangkan kreativitas siswa
Ada beberapa alasan
kuat mengapa permainan tradhisional dapat meningkatkan kreativitas siswa.
Pertama, bermain merupakan kegiatan yang menyenangkan dan menggembirakan
sehingga anak tidak merasa tertekan. Suasana yang menyenangkan dapat
memfasilitasi perkembangan kreativitas anak. Kedua, permainan tidak memiliki
tujuan ekstrinsik, namun bukan berarti tidak memiliki makna. Pada dasarnya
langkah-langkah yang ada pada permainan tradhisional membutuhkan ide kreatif
agar anak dapat memenangkan permainan. Keberhasilan yang dialami dalam
usaha-usaha kreatif mendorong ekspresi kreatif yang tingkatnya lebih tinggi.
Ketiga, aturan-aturan yang ada dalam permainan tradhisional dapat dimodifikasi
sesuai dengan kesepakatan para pemain. Hal itu membuat anak dapat berpikir,
bereksperimen dan bertingkah laku secara bebas dan meluas. Kegiatan tersebut
juga dapat menunmbuhkan keterampilan dan nilai-nilai yang kompleks. Keempat,
permainan tradhisional membutuhkan energy fisik dan kecerdasan baik otak kiri
maupun otak kanan.ini membuat, waktu siswa dihabiskan dengan bermanfaat
sehingga adanya kegiatan-kegiatan negatif yang terjadi pada anak-anak dapat
diminimalisisr. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan jika
permainan tradhisional dapat mengembangkan kreativitas siswa.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kreativitas tidak
semata-mata diperoleh berdasarkan faktor keturunan namun dipengaruhi oleh
stimulus. Stimulus dapat diterima jika anak melakukan berbaggai kegiatan
contohnya permainan tradhisional. Permainan ini
sudah mulai ditnggalkan karena kebanyakan anak menghabiskan waktunya
dengan permainan modern. Padahal permainan modern umunya kurang mengembangkan
kemampuan otak kanan.
Permainan tradhisional
dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Permainan ini dapat diintegrasikan
dalam pembelajaran atau dilakukan di luar sekolah. Keluarga sebagai orang
terdekat bagi anak juga dapat melakukan kegiatan ini karena sangat sederhana.
Oleh karena itu, penerapan permainan tradhisional sangat disarankan sebagai
salah satu cara sederhana untuk mengembangkan kreativitas siswa.
B. Saran
Keluarga sebagai orang
terdekat bagi anak hendaknya memfasilitasi pekembangan kreativitas anak. Dengan
memfasilutasi perkembangan kreativitas anak, sama artinya dengan melatih anak
untuk menyelesaikan permasalahan hidup dan bersaing secara global.
DAFTAR
PUSTAKA
Daryanto.
(2009). Panduan Proses Pembelajaran
Kreatif dan Inovatif. Jakarta: AV Publisher.
Grogan, Deirdre & Joan Martlew . (2014). Exploring Creative Environments through the
Child’s Lens. Creative Education, 5,
1528-1539.
Kompas.
(2001). Mencetak Anak Cerdas dan Kreatif. Jakarta: Kompas.
Made
Wena. (2009). Strategi Pembelajaran
Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional. Jakarta: PT
Bumi Aksara.
Mansur.
(2009). Pendidikan Anak Usia Dini dalam
Islam. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR
Mantra
Kaudfeldt. (2008). Wahai Para Guru,
Ubahlah Cara Mengajarmu: Perintah Pengajaran yang Berbeda-beda dan Sesuai
Dengan Otak. Jakarta: PT Macanan Jaya Cemerlang.
Rismawati.
(2012). Menstimulasi Perkembangan Otak dengan
Permainan (Untuk Anak Usia 0-12 Tahun). Yogyakarta: PT Pustaka Insani
Madani.
Schunk,
D.H. (2012). Teori-teori Pembelajaran:
Perspektif Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sue
Cowley. (2010). Panduan Manajemen
Perilaku Siswa. Jakarta : Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar